Senin, 14 Mei 2012

Cerita Seorang Pendaki Gunung: Trip to Bromo Part 1

Cerita Seorang Pendaki Gunung: Trip to Bromo Part 1: Pare, Desa Wisata pendidikan dan Tempat Banyak English Course.             Saat libur semester genap yang lamanya bisa sampai 2 bulan, k...

Trip to Bromo Part 1

Pare, Desa Wisata pendidikan dan Tempat Banyak English Course.
            Saat libur semester genap yang lamanya bisa sampai 2 bulan, kebanyakan anak rantauan akan memilih untuk langsung pulang ke kampung halaman. Tapi tidak semuanya. Beberapa mahasiswa memutuskan untuk tetap di lingkungan kampus, entah berkegiatan organisasi, mengambil les bahasa asing atau kalau beruntung bisa kerja sambilan. Aku tidak memilih dua diantaranya. Pulang ke kampung halaman atau tetap di jogja menurutku pilihan yang, rasanya sedikit membosankan. Aku ingin berlibur ke tempat lain dan kupikir inilah saatnya. Lagipula kalau harus pulang berlibur ke kampung halaman saja untuk bertemu orang tua dan teman lama aku bisa lakukan di sisa 1 bulan berikutnya.
            Sebenarnya di Jogja juga ada kegiatan yang tidak kalah jauh menariknya. Panitia ospek kampus sedang dibentuk dan akan mempersiapkannya selama 1,5 bulan kedepan sebelum ospek yang 2 minggu sebelum tahun ajaran baru. Menjadi panitia ospek sepertinya mengasyikkan karena bisa banyak belajar hal baru atau melihat muka-muka baru, khusunya yang cantik. Tapi aku pikir terlalu boros waktu yang kuberikan jika harus ikut persiapan kegiatan, yang ternyata kegiatan opspeknya cuma berlangsung selama 4 hari. Lagipula aku belum siap untuk menjadi pelayan masyarakat seperti itu. Jadi aku memutuskan membuat rencana lonely-travelling pertamaku, ke Pare di Kediri Jawa Timur sana.
            Dari beberapa kontak teman lama yang kupunya, kutahu Soegeng sedang di Pare untuk ikut program les bahasa Inggris di Kampung Pare yang banyak tempat les bahasa inggris berasrama. Setiap musim liburan kampung kecil di wilayah kabupaten kediri ini ramai dikunjungi banyak mahasiswa untuk belajar bahasa inggris. Adanya sistem asrama dan banyaknya tempat les membuat suasana disana menjadi tempat yang lumayan kondusif untuk belajar. Apalagi biaya yang ditawarkan termasuk murah untuk iuran les, pondokan asrama dan harga makanan harian. Buat detilnya aku tidak bisa membahasnya disini. Inti ceritanya aku pun pergi ke Pare menyusul teman lamaku itu dengan berbekal info dari internet dan tanya temanku itu, yang sudah setahun tidak bertemu.
            Dengan kereta api jurusan Yogyakarta-Banyuwangi aku turun di Stasuin kota Jombang, tiket Rp35.000. Kemudian diteruskan menuju desa Pare langsung dengan naik angkutan Elf, Rp10.000. Pemandangan yang ditawarkan selama perjalanan kereta lumayan indah. Apalagi ini pertama kalinya aku menyambangi daerah Jawa Timur. Sawah luas yang hijau, menguning atau berlumpur. Kebun dan hutan yang saling mneyamai. Pegunungan dan sungai yang kadang terlihat di sepanjang perjalanan. Tidak lupa pula ditambah dengan mosaik pemukiman sepanjang perjalanan yang sulit mau dikomentari indah buruknya. Sebenarnya pemandangan yang terlihat agak mirip-miriplah dengan di Yogyakarta. Tapi bagi para pelancong yang ke suatu wilayah baru manapun, hal seperti ini selalu menjadi menarik.
            Sesampainya di desa Pare aku masih bingung dengan arah yang ada. Di jogja aku sudah ikut kebiasaan menentukan arah dengan mengikuti arah angin, Utara untuk Merapi dan selatan untuk Parang Tritis. Klau di Sumatera dulu, Hulu untuk ke desa A dan Hilir untuk ke Kota X. Dis Jawa Timur, aku belum tahu kebiasaan orang sini. Suku memang Jawa juga seperti di Jogja. Tapi suatu budaya bisa begitu kompleks jika wilayah dan penduduknya begitu beragam. 
Posisiku sekarang ada di pinggiran desa ini, itulah yang kupikir. Aku mengingat-ingat peta google-earth yang kupelajari di internet. Tempat temanku pondokan katanya berada di English Course Elfast, dekat kantor desa dekat masjid. Tapi desa kecil yang kubayangkan tadi diluar ekspektasiku. Ada lima dusun di desa ini. diikuti jumlah masjid dan mushola yangyang jumlahnya ikut berlipat. Aku teringat lagu Gigi; Suasana di Kota Santri, sesuai sekali dengan citra Jawa Timur sebagai provinsi Santri dan NU. Walau banyak juga penyanyi dangdut vulgar yang berasal dari provinsi ini, ironi.  Sepertinya mencoba kemapuan navigasi darat dan kemampuan melacakku saat ini bukanlah waktu yang tepat. Karena merasa lelah aku memutuskan untuk menelpon temaku menjemputku di masjid yang ada di dekatku.
Soegeng, mahasiswa Teknik Industri Univeersitas Indonesia seangkatan denganku dan juga satu SMA. Walau kami tidak pernah sekelas semasa SMA hubungan kami berdua sebagai teman saling menguntungkan dan tidak saling memanfaatkan. Jika ia ke jogja, ia akan mampir ke tempatku. Jika aku ke jakarta, aku akan mampir ke kosan dia. Jika di kampung halaman kami malah tidak bertemu. Tapi di Pare ini ia akan menjadi teman satu pondokan tempat les.
Sebelum ke Pare aku telah merencanakan beberapa tempat les lokal yang akan aku sambangi untuk belajar. Hari sudah sore dan badan sudah lelah. Dengan penuh pengertian Soegeng merelakan tempat tidurnya untuk aku “teparin”. Besok hari masih panjang untuk mengisi waktu dan mewujudkan rencanaku.

Senin, 07 Mei 2012

Tangkuban Perahu Juga Gunung Loh!



Ini cerita tentang persentuhan pertama saya dengan gunung api pertama di Jawa yang saya kunjungi. Saat itu libur kenaikan kelas 3 SD.  Aku bersama keluargaku pergi jalan-jalan ke gunung Tangkuban perahu. Sebenarnya saat ke gunung Tangkuban Perahu bisa dibilang kami  tidak melakukan pendakian, makanya saya tulis mengunjungi. Toh, buat jalan-jalan ke gunung ga harus mendaki dengan ala pendaki gunung profesial juga kan. Lagipula usia saya pada saat itu masih 8 tahun dan keluargaku bukanlah keluarga pendaki. Lagi pula yang kami cari adalah esensi keharmonisan liburan keluarga, bukan pendakian gunung ala pecinta alam. Soal tahunnya, aku kurang ingat mungkin 1999 atau 2000.
Bisa pergi jalan-jalan bareng keluarga ke Jawa Barat merupakan pengalaman yang lebih seru dibandingkan hanya menghabiskan liburan di kampung halaman saya bersama teman yang itu-itu saja. Yah, bukan bosan dengan mereka sih. Cuma rasanya lebih seru saja kalau ada kesempatan liburan yang lebih menarik dengan petualangan seru ke Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Ditambah lagi pada saat itu film Petualangan Sherina lagi terkenal-terkenalnya. Dan aku tahu film itu syutingnya di Jawa Barat. Secara aneh aku berharap aja ketemu Sherina yang seusiaku pada saat itu. Hehehe mimpi kali ya.
            Gunung Tangkuban Perahu terltak sekitar Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung. Gunung ini mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutani. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.
Untuk mencapai gunung Tangkuban Perahu, kita bisa menuju daerah Lembang tepatnya desa Cikole, kurang lebih 30 menit dari Bandung menggunakan kendaraan bermotor. Ada dua alternatif jalan menuju Tangkuban Perahu. Yang pertama jalur utama, yakni jalur kendaraan bermotor (baik motor, mobil maupun bus) masuk melalui jalan raya Lembang-Subang. Jaraknya kurang lebih 3 km dari gerbang.  Jalur yang kedua masuk melalui kawasan Jayagiri, biasanya ini untuk jalur hiking. Track ini jalannya menanjak dengan kemiringan sekitar 300  Celcius. Harga tiket masuk kawasan Tangkuban perahu Rp. 13.000, sedangkan untuk yang masuk melalui kawasan Jayagiri ditambah Rp. 4.000.
Di kawasan Lembang ini merupakan tempat yang banyak spot-spot wisata khusus seperti bumu perkemahan, tempat outbound, pemandian air panas, kebun buah atau sekedar melihat pemandangan di pinggir jalan. Pokoknya objek wisata yang ditawarkan disini lebih berpusat pada wisata panorama alam dari hutan dan pegunungannya yang sejuk.
            Balik ke tujuan semula, Tangkuban perahu. Dari Subang setelah mendapatkan jalan raya menuju pintu gerbang objek wisata gunung tangkuban perahu. Disana bagi yang punya kendaraan pribadi, seperti sepeda motor atau mobil, boleh langsung meneruskan perjalanan menuju kawah gunung tangkuban perahu. Tentunya setelah membayar retribusi masuk lokasi wisata. Jika menggunakan bus pariwisata yang gedenya memakan lebarnya jalan yanga ada. Maka para wisatawan harus turun dan boleh ikut menumpang mobil tour yang disediakan oleh pengelola wisata secara gratis. Karena keluargaku ikut bus wisata, kami ikut tumpangan gratis ini.
            Dari sini kami meneruskan perjalanan yang memakan waktu tidak lebih dari 20 menit. Hutan yang ada seingat saya mirip-mirip di film Jurasic Park dikit lah. Lebat banget, apalagi ada pohon-pohon pakis haji (paku-pakuan) yang menambah nuasa hutan yang sangat lebat.  Ditambah nuansa magis dari kabut yang menyelimuti lembah. Sepanjang perjalanan di mobil tumpangan yang tanpa jendela ini obrolannya tak jauh dari guyonan siapa yang kentut. Karena semakin keatas semakin tercium bau kentut gunung yang menyengat, gas belereng dari kawah gunung tangkuban perahu. Dan tanpa terasa sudah sampai saja di parkiran  wisata di seputaran bibir kawah gunung tangkuban perahu.
            Kalau boleh banggain pendapat pribadi, ini dia enaknya jalan-jalan ke Tangkuban Perahu. Karena cepat sampainya karena bisa naik kendaraan, dan bisa rame rame sekalian sama keluarga.  Ditambah kita sudah bisa menikmati nuansa puncak gunung . Tanpa harus capek-capek kayak naik gunung yang harus trekking jalan kaki. Memang sih kalau kata para orang yang pernah naik gunung secara trekking atau pendapat orang kebanyakan naik tangkuban perahu belum bisa disebut naik gunung. Tapi buat mereka-mereka yang anak-anak, manula, para manusia kuat yang merasa lemah atau  ga minat kalau diajakin naik gunung yang sebenarnya. Gunung wisata kayak tangkuban perahu inilah alternatifnya.
Toh pemandangan yang didapat sama indahnya kok kayak gunung-gunung yang lain. Ada kawah gunung berapinya yang negluarin gas terus-menerus, hutan pegunungan yang pohonnya pendek-pendek, awan yang terlihat di atas kepalla dan dibawah lembahan, pemandangan dari ketinggian plus suhu penggunungan yang dingin. Ditambah lagi ada yang jualan bakso anget di emperan toko souvenir batu antik, yang juga menjual kayu awet muda, bubuk belerang dan souvenir lainnya.
            Yah agak malu-maluin sih kalau dibilang kok bisa bangga naik gunung kayak ginian. Tapi kalau dari aku sendiri walaupun naik gunung wisata kayak gini ga terlalu “menantang”. Tapi buatku ini merupakan awal pertamaku menyukai wisata-wisata alam pegununggan. Sampai-sampai bikin keinginan buat naik gunung Dempo di provinsi kempung halamanku kalau sudah lebih gede nantinya. Jadi, kalau kalian minat buat coba wisata ke gunung, tapi ga mau capek, kenapa ga Tangkuban perahu aja.

Minggu, 06 Mei 2012

Photo pendakian Gunung Ciremai























Harimau tandang


Sedikit ceritaku dengan kakekku saat ia mengajakku bertandang di kebun kopi. sedikit berbumubu mitos lokal sih untuk menambah keseruan. pernah dipublikasikan di blok lama saya yang saya lupa passwordnya.

..................................................................................................................................
Semua semua pria di dunia , aku begitu senang mendengar kata petualangan. Liburan lebaran tahun ini begitu istimewa dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Desa kakekku sangat jauh dari kotaku yang lebih maju dari desa ini. Tapi bukan berarti desa ini tidak lebih menyenangkan dari kota yang kutempati.Tiga hari lebaran belum dingin dan orang-orang yang mudik belum juga pulang. Kakekku sudah tidak sabar hendak pergi ke Talang di atas punggung gunung sana. Orang di kampung ini punya banyak kebon kopi dan lada di atas dan di sekitar gunung sana. Kakekku punya banyak dan salah satunya di atas punggung gunung itu. Sangat jauh dan butuh tenaga ekstra untuk mendakinya.
Dengan menumpangi mobil kanvas atau mobil Off-Road yang sudah tua dan tampak menyedihkan. Pagi-pagi sekali kami berangkat kesana. Mobil ini sangat tangguh untuk jalur-jalur pedalaman yang ekstrem dan mematikan. Sayangnya usianya sudah tua dan karatan. Asapnya hitam dan mengepul menyebar polusi dan pesan mobil ini sudah rusak. Warna catnya yang pudar dan serta kotoran yang ada dimana-mana disisi mobil Herkules ini. Membuatku sedikit ngeri kalau-kalau mobil ini meledak atau terbalik saat mendaki dan menempuh perjalanan yang berbahaya ini.
Mulanya perjalanan ini masih berjalan lancar dengan melalui jalan aspal yang licin.
Tapi setelah kami keluar dari jalan kecamatan sedikit-sedikit jalan berubah. Awalnya menjadi aspal berbatu, tanah berbatu dan akhirnya jalan tanah yang sempit dan penuh lumpur. Ditambah lagi perjalanan yang mendaki. Hebatnya mobil ini tetap tangguh dan tegar.
Sesungguhnya jalan ini adalah jalan impian dan dicari-cari para Off-Roader sejati. Tanjakan dan turunan yang terjal, berkelok-kelok, lubang-lubang besar berlumpur serta semak belukar di kanan kiri yang tingginya melebihi tnggi badan orng dewasa. Serta hutan belukar dan kebon-kebon yang terbengkalai di kanan kiri jalan. Namun indah dengan pemandangannya. Aku melambung tinggi dalam petualangan ini yang sesungguhnya biasa-biasa saja bagi orang-orang disisiku ini
”Wak, wak, wak Zaini hendak kemana kalian berdua? Air ringgkeh apa Talang ading?” Tanya sopir yang mobilnya kami timpangi ini. Mungkin ia suah saling kenal dengan kakekku. Sehingga kami bleh ikut mereka.
” Ke Air ringgkih Zul.”
”Oh..... Sayang nian wak kami hendak ke Talang Ading. Maaf nian wak kamu turun di simpang Air hitam bae wak.”
“Au…. Tidak apa, kami turun disane bae lagi pula sudah dekat.”
”Siapa bujang ini wak?Cucu kamu wak?” Wanita paruh baya yang duduk disebelah sopir itu bertanya. Mungkin dia istrinya sopir ini dan dua pria di sebelah kami adalah anak-anak bujangnya.
”Cucuku, dari kota Lahat. Dia ingin lihat kebon di bukit . Aku ajak saja dia daripada nganggur di kutiggal di desa.” Tersenyum padaku. Siapa yang mau bukankah kakekku yang mengajak. Tapi tidak apa aku suka perjalanan ini.
”Oh jeme Lahat, iluk nian sekali-sekali ikut Kakek ke kebon.” Aku tersenyum dan menunduk.
***
Aku hampir pingsan karena perjalanan kedua setelah turun dari mobil tadi. Dri simpang Air hitam kami akan berjalan menelusuri jalan ekstrem ini. Kemudian melalui jalan tikus untuk menuju balik bukit yang terlihat dekat. Sudah tiga kali kakekku berkata,”Sedikit lagi sampai itu di balik bukit sana, dekat.”Bukit ini adalah bagian dari Pegunungan Bukit barisan dan berada di samping Gunung Dingin.
Tiga jam lebih kami berjalan dan mendaki naik turun bukit. Aku terlihat sekarat karena mendaki terus. Padahal bawaanku hanya tas ransel
kecil yang cukup ringan dibandingkan bawaan kakekku. Bawaanya pasti lebih berat dari berat badanku dan ia masih semangat dan kuat. Tapi semua itu terhapuskan sudah setelah kakekku berkata, ”Nah sampai kita, ini bukit terakhir itu dia kampungnya.”
Bukit terakhir , entah bagaiman menggambarkan perasaanku yang telah mencapainya. Dari puncak bukit ini terlihat rumah-rumah perkampungan kakekku yang kecil di bawah sana. Terlihat jelas pula hutan belantara yang lebat. namun diselingi petak-petak ladang yang baru dibuka oleh petani ladang berpindah. Dusun Air ringgke ada di atas bukit ini yang datar di puncuknya.Ada sembilan rumah yang terlihat . Sedikit sekali untuk dikatakan sebuah dusun.
Aku sedikit kecewa setelah sampai di dusun ini.Sepi bukan buatan, tak terlihat siapa-siapa disini. Hanya ayam dan itik yang berkicau pertanda desa ini ada penghuninya. Kata kakekku ini namanya talang lebih kecil dari dusun dan orang biasanya hanya tinggal sementara disini. Tentunya mereka masih tinggal Perkampungan induk yang lebih besar.
”Oi wak Zaini alangkah cepat kamu datang kekebon kali ini.” Tiba-tiba saja ada seseorang yang keluar dari salah satu pondok disini. Ia sudah tua dan kemungkinan besar dia adalah teman kakekku.
”OI wak.... Basin bukankah awak juga begitu. Aku khawatir dengan buah Ladaku yang sudah matang dan tinggal dipanen. Sekalian aku ajak cucuku ini tuk lihat kebon di bukit. Biasa dia orang kota , tak biasa dia lihat bukit.”
”Au..... aku juga begitu wak Zaini. Ngeri juga aku dengan maling kebon sekarang. Awas kalau ketemu kuhajar dia.”
Maling kebon, ah baru kutahu kenapa kakekku cepat cepat ke kebon ini. itulah ternyata alasannya. Setelah saling memberi berbincang sebentar tadi kami menuju pondok kakekku. Letaknya di depan pondok wak basin yang hanya dipisahkan sebidang tanah yang tak ditumbuhi rumput. karena digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Pondok kakekku berupa rumah panggung kecil yang sebagian besar bahannya dari bambu. Mulai dari tiangnya, lantainya dan dindinggnya. hanya beberapa bagian dari bahan kayu dan atapnya dari seng.Dindiingnya berasal dari bambu yang dibelah dua kemudian dipipih. bukan seperti bilik bambu yang ada pada rumah orang Jawa dan sunda.
Ruangannya saja hanya ada tiga bagian, ruang tamu yang sekaligus tempat tidur, gudang yang lebih besar dari ruang tamu dan dapur yang sangat kecil. jendelapun tidak ada hanya ada pintu depan dan belakang sebagai tempat sirkulasi udara. Sungguh sederhana dan ini bukanlah kemiskinan teman. karena ini hanya rumah kedua sebagai tempat persinggahan.
”Ayo Giri , kite cakagh makanan tuk makan malam ni!”
Setelah menaruh barang di pondok dan masak nasi dan air. Kakekku mengajakku keliling ke sekitar talang ini dan menuju ladang sayur. Ternyata setelah dilihat-lihat Talang ini ada juga geliat kehidupannya. Rumahnyapun ternyata ada enambelas rumah dan ada juga satu warung kelontong yang masih tutup. Rumah yang baru berisi pun baru lima rumah yang kuketahui. Talang ini dibelah oleh sebuah sungai kecil yang airnya bening, jernih dan sangat dingin. Pohon-pohon durian, petai, kemang, menjulang tinggi disekitarnya. Serta hutan belantara yang mengelilinginya dan mungkin saja masih perawan dan penuh akan hewan buas.
Di sungai kecil ini, kakekku memasang Bubu dan pukat jaring. Katanya, cari ikan untuk lauk besok pagi, semoga saja dapat banyak. Kemudian setelah itu kami ke kebon sayur milik seorang wanita yang sayurnya diminta cuma-cuma saja oleh kakekku. Setelah itu kami pergi ke kebon kopi yang sekaligus kebon lada milik kakekku, tidak terlalu jauh.
Rasanya wajar saja kakeku cepat-cepat mengunjungi kebon ini. Sudah dua minggu lebih ditinggalkannya. Buah ladanya suah matang dan tinggal dipanen saja. Sangat bahaya jika ditinggalkan lama-lama. karena hanya dari buah Lada inilah kakekku dapat membeli barang-barang mewah yang dinginkannya. Seperti Tv, Digital, Mesin air, lampu Petromax,Radio tave dan yang sekarang paling terfavorit di desa ”Sepeda motor.”
”Hoi Zaini, siapa bocah yang bersamamu ini?”, tak tahu dari mana datangnya tiba-tiba saja ada orang dibelakang kami.Penampilannya juga sangat menyeramkan. Orang ini sudah sangat tua, berkulit hitam kecoklatan, sedikit bungkuk tapi berisi,Rambutnya putih masai,dan mata kananya picing. tapi tatapan matanya yang tinggal sebelah sangat tajam dandapat menundukkan siapa saja. Dan ia terus menatapku sangat mengerikan, akupun tertunduk.
”Ai wak Hitam , terkejut aku. Apa kabar wak...”
”Siapa bocah ini?” Sergahnya kepada kakekku.
”Cucuku,cucuku. dia ikut aku tuk lihat kebon di bukit nih.”
”Hhmm..... Cucu kau ya. Ajari dia sopan santun, jangan lagi tangannya jahil. Baru pertama kesini sudah berani dia kencing sembarangan.” langsung saja ia meninggalkan kami setelah mengatakan itu.
Aku mengerti, pantas mengapa ia tajam melototiku. Tadi ketika melewati pohon Kemiling besar aku tanpa sengaja kencing sembarang. Menurut kebiasaan itu tidaklah boleh karena dapat menyinggung dedemit di sekitar sana. Tapi kapan ia malihatku, dari tadi rasanya tak ada yang mengikuti kami dan orang yang kami lewati. Aneh.
***
Setelah kakekku menjelaskan, baru kutahu siapa orang tua yang melottiku tadi. Ia sedikit marah padaku karena perbuatanku. Katanya pria tua itu adalah seorang dukun sakti, tabib besar kecamatan ini, kepala talang enambelas rumah ini, dan orang tertua yang pernah kutemui. Serta penghuni tetap talang ini, entah tak tahu kenapa. Ternyata ada juga orang yang kerasan tinggal di talang kecil, tertinggal nun jauh di atas bukit ini.
Malamnya setelah kami makan malam dengan lauk seadanya kami pergi ke pondok wak basin yang menyapa kami siang tadi. Kami berjalan beriringan dengan penerangan sebuah senter. Malam benar-benar gelap gulita di tengah hutan ini. Tidak ada bulan ataupun bintang gemintang. Karena awan hujan telah menutupi langit sejak sore tadi. Ini merupakan pertama kalinya aku merasakan malam segelap dan sepekat ini. Hitam, yang ada hanya hitam yang abegitu gelap. bahkan senter saja tak sanggup menyinari tubuhnya sendiri. Inilah kegelapan dan semua cahaya diserap olehnya.
Di pondok itu cukup ramai dan cukup terang dengan adanya lampu Petromax disana.Di pondok itu ada kami, wak Basin dengan tiga anggota kelurganya juga salah satu tetangga yang telah datang di kebon ini. Hanya Wak Hitam yang tidak hadir. Mereka saling berceeritera mengenai Lebaran dan puasa yang baru meninggalaknan umat muslim. Juga beberapa kabar lainnya dan harga Kopi dan Lada yang naik sedikit.
”Oi wak basin, aku baru dengar di pasar tadi. Harga kopi naik tiga ribu dan harga Lada naik dua ribu. Semoga saja naik terus Wak basin, Biar berubah juga hidup kita ini.”
” Aii.. Benarkah itu Wak Zaini kalau begitu Bisa pergi haji aku tahun ini.”
” Amin, Asal tidak ada kendala lainnya bisa kita wujudkan. Nah ayo di minum Kopinya nanti dingin pula.”
Nikmat juga malam ini walau penuh dengan kesederhanaan bersama para petani ini. Jamuan yang disuguhkanpun sanagt sederhana, Kopi pahit dan pisang goreng. Aku tidak meminum kopinya setelah hirupan pertama yang langsung kusemburkan. Para petani tertawa girang melihat tinggkahku. Mengasikkan juga rasanya berkumpul dengan mereka.
Ketika jam sepuluh malam lewat sedikit aku pamit meninggalkan pondok karena telah mengantuk. Kakekku tinggal disana dan aku pulang sendiri dengan hanya dipinjami ebuah lampu teplok. Tidak ada yang memerhatikanku saat aku pergi. Cahaya penuntunku hanya lampu teplok ini dan angin malmam tak mau bersahabat. Aku ketakutan di tengah kegelapan ini dan terus mempercepat langgkahku.
Ketakutanku semakin menjadi saat kusadari ada sepasang mata yang mengintaiku di semak belukar sana. Kuning besar tajam dan terus nmengintaiku. Aku mempercepat langkah dan mencoba tak melihatnya.kemudian disaat kilat menyambar terpencarlah cahaya yang menampakkan sosok pemilik mata tersebut. Wak hitam, tak salah aku melihatnya walau sepintas. Itu wak Hitam.
Secepatnya aku berlarimenuju pondok kakeku. Sayangnya saat langkah terakhir sampai ke pondok lampu Teplokku mati ditiup angin. Rasanya tubuhku ditahan oleh sesuatu untuk bergerak. Bahkan untuk minta tolong saja aku tak sanggup berteriak. Untungglah kakekku tahu dan mengarahkan lampu Petromax ke arahku. aku merasa begitu lega karenanya.
Setelah masuk ke pondok aku senang karena ada satu lagi lampu teplok milik kami yang menyala. Aku langsung tidur dengan menutupi kepalaku karena masih takut. Sayangnya kelegaan itu tak bertahan lama. Lampu teplok di pondok ini juga mati. Aku ketakutan setengah mati sendirian di pondok ini. Hingga sepanjang malam ini, sampai terlelap aku tak hentinya membaca ayat kursi. Entah apa yang aku takuti, Kegelapan ini Ataukah Wak Hitam?
***
Aku sedikit bingung dengan apa yang kualami tadi malam. Aku melihat sepasang mata tajam dan ketika kilat menyinarinya Wak Hitam yang picing malah yang terlihat. Mata itu tajam berwarna kuning mengkilap daan sedikit mirip mata kucing. kebingunganku belumlah usai saat aku terbangun dari tidurku yang risau. Karena saat bangun Wak hitam sedang berbincang dengan kakekku di beranda pondok .
Dia menatapku tajam walau hanya sekilas saat aku keluar pondok. Mau apa dia pagi-pagi sekali kesini? Setelah beliau pergi kakekku mengatakan bahwa kami akan pulang besok. Karena wak hitam berpesan pada kakekku bahwa ada harimau lapar yang sedang berkeliaran di sekitar talang ini. Kenapa tiak hari ini saja pulangnya? Aku sudah sedikit takut disini dan bodohnya aku tidak menceritakan apa yang kulihat tadi malam .
Pagi ini kami sarapan enak dengan lauk ikan hasil dari jebakan yang dipasang kemarin. Setelah itu kami pergi ke kebon. Disana aku membantu kakekku memanen sedikit Lada. Memanen sungguh asyik, tinggal dipetik kemudian kau dapat duit. Pantas sekarang banyak pencuri kebon karena tidak usah susah-susah merawatnya. Kami hanya mengumpulkan sedikit lada karena panen sebenarnya bukan hari ini.
Lewat tengah hari kami kembali kepondok. Setelah makan siangdan shalat zuhur kakeku mengajakku memancing. Beliau sempat memeriksa jaring pukatnya yang dipasang plagi pagi tadi. ikan disini banyak Buktinya baru setengah hari jaring dipasang ikan sudah ada yang bernasib sial. Kakekku banyak mendapat ikan dan aku hanya mendapat tiga ikan yang kecil-kecil.
Malam ini kami dan wak basin membuat acara bakar ikan di pondok kakekku. Rupanya Wak basin tak menolak saat kami ajak kmembakar ikan. Walau malam sangat sepi dan dingin . Selalu ada cara meramaikan malam jika ada teman disisi kita. Bara api yang hangat sanagt membantu dalam mengatasi malm yang dingin di atas pegnungan ini.
”Aiii.... Wak zaini mantap nian rejeki kamu hari ini. Dapat ikan sebanyak ini . ai tak akan habis sekali duduk.”
”Ha ha ha...... Karena itulah aku mengajakmu wak basin. Tak kan habis ikan ini seklai duduk , memangnya kami Harimau yang banyak makannya. Ha ha ha......”
”Sssstt.... Aiii... Wak Zaini kenape kau ucap kate Harimau. Pantangan Tak mau aku mati malam ini”
Wak basin sedikit takut dan aku mengerti. Barang siape pergi ke hutan, jangan kau sebut si raja hutan. kata orang tua dulu jika kita menyebut nama Harimau di sarangnya, itu sama saj mengundangnya untuk datang. Hujan pun turun dan wak basin berlari pulang ke pondoknya setelah pamit. Kami juga cepat-cepat naik ke pondok. Tak mau kami kedinginan diluar. Sampai-sampai kami lupa mematikan api unggun di bawah pondok.
Hujan turun begitu derasnya diiringi angin yang terus meniup dingin masuk ke celah-celah pondok.Aku tak bisa tidur karena suara atap seng yang begitu ribut. Kakekku sedikit kesa lpadaku saat aku mengatakan aku mau turun ke sungai karena tak tahun mau buang hajat Padahal hujan turun begitu derasnya. Tapi mau bagaimana lagi aku sudah tak tahan.
Sayangnya ketika turun pondok. Malang bukan dibuat-buat, bala’ tak dapat ditampik. Baru kali ini aku terkejut bukan kepalang. Kakeku juga begitu, ia sampai mengucap “Laila hailaulah”. Harimau, ada Harimau yang tandang di bawah pondok kami. Warnanya kuning api berbelang-belang. Badannya besar mengarkan dan siapapun yang melihatnya akan merasa takjub dibuatnya.
Aku begitu beruntung bisa melihatnya langsung di hutan rimba ini. Mungkin karenahujan yang begitu deras ini harimau itu singga kberteduh kepondok ini. Ditambah lagi adanya api unggun yang masih hidup di bawah pondok kami. Tapi ini bukanlah keberuntungan yang bagus karena bias-bisa kami yang dijadikannya santap malam. Mahluk inidatang mungkin karena mendengarundangan kakekku tadi. beliau sedikit menyesal dan cepat-cepat menarikku naik ke pondok lagi.
Aku tak jadi buang hajat. Lagi pula rasa itu telah tergantikan oleh ketakutan kami oleh harimau yang sedang tandang dibawah pondok ini. Aku tak bias tidur dn kakekku terus mengaji surah Yassin yang dihapalnya. Siapapun pasti takut jika dikunjungi Si raja hutan ini.
Rasanya ingin secepatnya kami ulang. Kuberi tahu teman, melihat harimau Secara langsung di kampungnya bukanlah sepetimelihat Harimau di kebun binatang atu sirkus. Ini pertaungan antara dimakan atau selamat.
***
Paginya kami bergegas pulang secepatnya ke perkampungan di bawah sana. Wak basin Juga ingin pulang etelah mendengar cerita kami. Tapi dia punya enjata api yang memberanikannya tinggal semalam lagi disini. Sedangkan Wak Hitam tak tampak saat kami ingin pamit pulang. Kami berjalan cepar menuruni bukit menuju Simpang Air hitam menunggu mobil yang akan menuju ke perkampungan. Untunglah ada mobil yang lewat dari talang adding jadi kami tak mesti menunggu terlalu lama. Rasanya perkampungan begitu penuh kedamaian hingga membuat kami ingin cepat pulang menghindari Sang raja hutan, Harimau.

Jumat, 04 Mei 2012

Pendakian gunung Ciremai


SENJA DI PUNCAK PANGLONGOKAN

Kamis, 9 Juni 2011
            Hari ini Wahyu dan Jerry tim pendahulu pendakian puncak Ciremai berangkat dengan kereta progo ke Cirebon. Saya dan Hanif bertugas mengantar mereka ke stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pada jam tiga pagi ini. Kereta akan berangkat pada pukul 16.00 WIB sesuai jadwal. Urusan kereta terlambat atau tidak itu mungkin terjadi. Saya tahu bahwa kereta tidak pernah diberangkatkan lebih cepat. Tapi kami mengantar kedua tim pendahulu ini  lebih cepat. Saya dan Hanif tidak bisa mengantar keberangkatan kedua tim pendahulu ini sampai kereta berangkat. Karena di sekretariat Palapsi akan diadakan upacara pelepasan atlet Follow Up Diklat (FUD)  Java Advanture 2011 ke Jawa Barat secara menyeluruh.Mereka berdua juga tidak bisa ikut upacara pelepasan karena harus berangkat duluan.
            Di Sekretariat Palapsi telah ramai berkumpul para atlet FUD, para atlet FUD yang tidak ikut During terakhir, Palapsier, senior dan siapa saja warga kampus Psikologi UGM yang ikut upacara keberangkatan. Sebagian besar memakai T-shirt biru khusus FUD Java Advanture 2011 atau T-shirt biru Palapsi bertuliskan Never Give Up di belakangnya. Lewat pukul 16.30 WIB acara dimulai dan diadakan di Lapangan Voli Psikologi UGM. Acara diisi singkat dengan pidato singkat dari senior, ketua 25, calon ketua 26. Kemudian memasuki acara inti menyanyikan himne Palapsi. Dengan  nyanyian dan ciuman ke bendera Palapsi resmilah kami untuk berangkat.

Jumat, 10 Juni 2011
            Hari ini atlet FUD divisi gunung dan tebing  akan berangkat ke Jawa Barat bersamaan dengan kereta Progo jam 16.00 WIB dari stasiun Lempuyangan. Dengan diantar oelh banyak Palapsier.  Di divisi gunung sendiri ada saya, Hanif, Wikan, Tifani/Moni  dan dari divisi Tebing ada Fasluki, Ratu Salika  Awang , Diah/Neeson , Bagas dan Ginanjar yang ikut  bareng berangkat mudik ke Bandung yang naik kereta hari ini. Sebenarnya ada satu lagi atlet divisi Gunung yang harusnya berangkat, Diyan. Namun karena tidak mendapat izin orang tua di hari-hari terakhir sebelum keberangkatan sahabat kita satu ini tidak bisa ikut.
            Sepanjang perjalanan kami isi dengan obrolan gosip-gosip asmara di Palapsi tahun ini atau obrolan lain. Saat habis obrolan kami ganti dengan main kartu. Saat ada pengamen dan pengamen Waria kami pura-pura tidur atau benar-benar tidur dan saat lapar dan haus kami makan dan minum. Pokoknya sebisa mungkin kami mengisi kebosanan sampai kereta berhenti di Stasiun Kota Baru Cirebon pada pukul sebelas malam lewat. Dari sini kami berpisah dengan Divisi Tebing dan Ginanjar untuk melanjutkan misi kami.
            Jika berpanutan dengan rencana Briefing keberangkatan kami akan dijemput oleh tim pendahulu yang akan menyiapkan keperluan selama di Cirebon dan Base Camp pendakian. Keluar dari stasiun kami memang dijemput oleh mereka dan diajak langsung ke tempat beristirahat malam ini, Masjid Agung stasiun Kota Baru, Cirebon.

Sabtu, 11 Juli 2011
            Selepas shalat Shubuh kami berangkat ke desa Lingasana di kecamatan Linggarjati, Kuningan. Sebelumnya kami sedikit berdebat dengan sopir angkot yang mematok harga dengan sangat mahal untuk jasanya mengantar kami ke sana. Padahal kalau naik angkutan umum lain dengan sistem ganti-ganti angkutan untuk setiap jalur mungkin harganya bisa lebih masuk akal. Tanpa kehilangan akan kami manfaatkan saja dengan mengantar kami ke pasar tradisional di Linggarjati dulu dan menunggu kami selama satu jam untuk belanja kebutuhan konsumsi untuk pendakian. Sebelum akhirnya berangkat lagi ke tujuan.
            Sesampainya di basecamp pendakian gunung Ciremai desa Lingasana kami bayar sopir angkot tersebut dengan berat hati. Jerry dan wahyu yang sehari sebelumnya telah kesini telah melakukan pendekatan dengan empunya rumah. Kami dizinkan menginap di rumah beliau sebelum dan sesudah pendakian. Basecamp pendakian Lingasana ini bergabung fungsi dengan pos ronda dan rumah pak Tatang (Basecamper) disebelahnya.
            Hari masih jam sebelas siang lebih dan pendakian kami akan dimulai jam delapan pagi besok. Sisa hari kami gunakan untuk packing ulang logistik pendakian, istirahat atau sekedar ngbrol dengan keluarga pak Tatang. Hal menarik yang saya ketahui tentang pak Tatang adalah bahwa ia lahir di Palembang dan dibesarkan disana sampai ia merantau dan dapat jodoh orang sini. Saya sendiri sebagai perantau dari Sumatera selatan senang rasanya bertemu dengan orang satu daerah. Sehingga membuat membuat hubungan kami lebih hangat dan terbuka.
            Dari hasil obrol-obrol dengan pak Tatang desa Lingasa ini mendapat juara 2 untuk desa terbersih di Jawa Barat, teraman nomor 3 versi POLDA Jawa Barat, desa yang patut jadi panutan. Kata beliau juga jalur pendakian dari Lingasana ini lebih panjang dibanding dengan dua jalur pendakian resmi lainnya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Desa Lingasana sendiri terletak pada ketinggian 600 meter diatas permukaan laut (mdpl). Jalurnya pun katanya lebih terjal dengan tempat angker lebih banyak menurut mitos masyarakat sekitar.  Ini juga mungkin yang dijadikan alasan Jerry, selaku Kepala Divisi gunung 25 memilih jalur tersulit untuk during terakhir pendakian gunung dalam rangkaian FUD Java Advanture. Untuk menguji dan membuktikan hasil latihan dan pesiapan kami selama 2,5 bulan kebelakang.
Minggu, 12 Juni 2011
            Hari ini sehabis shubuh kami mandi dengan air siraman air es teh dan sarapan nasi goreng buatan Basecamper yang baru-baru aku ketahui ternyata juga buka warung makan dadakan. Lumayan menghemat waktu dan logistik walau sedikit menguras duit. Setelah persiapan beres baik urusan kbersihan, sarapan, logistik di Carrier kami lakukan pemanasan ringan sebelum memulai pendakian. Pagi menunjukkan pukul 8.00 WIB  saat kami mulai berjalan meninggalkan Basecamp. Gunung Ciremai dari kejauhan menampakkan kegagahannya seobagai daratan yang lebih tinggi mencuat yang hijau lebat dengan hutan Tropisnya dilatarbelakangi langit biru cerah. Semoga selama pendakian langit tidak mencurahkan hujan. 
            Di pagi minggu ini ternyata desa Linggasana ini ramai dikunjungi oleh para warga kota Kuningan yang berjogging ria ke lereng gunung Ciremai. Mungkin semacam komunitas kecil yang suka jogging pagi di hari minggu. Rata-rata orang tua paruh baya yang kebanyakan beretnis Tionghoa. Ada sepasang suami istri  yang menyapa kami dan menanyakan berapa kilo beban yang kami bawa. Ketika saya jawab 20 kilogram lebih sedikit mereka terkejut dan kasih salut buat Wikan dan Tifani yang walau cewek berani-bernainya mendaki gunung denagn beban seberat itu. Dalam hati saya berpikir apakah orang-orang ini mengaggap biasa saja kalau laki-laki yang membawa beban seberat itu.
            Kami mulai berpisah dengan komunitas jogging pagi saat berbelok memasuki hutan yang lebih lebat dan alami. Sedangkan mereka melanjutkan ke belokan yang mengarah ke hutan Pinus yang sangat benuansa tempat wisata publik. Sebagai leader pendakian ditunjuk Wahyu yang akan berjalan paling depan, disusul saya, Wikan, Tifani, Jerry dan Hanif sebagai Swiffer yang berjalan paling belakang. Saat masih setengah perjalanan menuju Pos Kondang Amis kami bertemu dengan pendaki lokal yang sedang beristirahat di saung kecil yang ada air pancurannya.
Sedikit ngobrol dan dapat informasi kalau sumber mata air di gunung sedang kering semua. Mungkin ada satu di dekat Kondang Amis yang masih berair. Kondang Amis Sendiri masih sangat jauh dari puncak. Jadi tidak akan terlalu membantu dalam pemenuhan kebutuhan air. Kalau dipikir ulang lagi sepertinya air yang kami bawa termasuk sedikit untuk pendakian yang akan kami jalani selama tiga hari. Masing-masing membawa 5 liter air di Carriernya. Beliau juga cerita bahwa ia baru saja turun dari gunung Ciremai setelah 6 hari lebih tinggal disana. Bukan untuk melakukan pendakian seperti pendaki kebanyakan atau sebagai Jagawana yang sedang patroli. Mungkin buat Paniatan (Sunda) atau Pesugihan (Jawa) buat cari ilmu dan kekayaan.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan jarak antara saya dan Wahyu yang cukup berjauhan dengan empat teman di belakang. Mungkin karena baru hari pertama dna peurt masih kenyang jadi kami berjalan terlampau cepat. Saya perhatikan di kanan kiri jalur pendakian ini hutan gunung Ciremai sangat lebat. Lebatnya sampai membuat sinar matahari terhalangi sampai serasa senja menjelang malam. Banyak juga tanaman merambat seperti tanaman Rotan yang besarnya sampai sepaha dan merambat panjang tak terlihat lagi ke pedalaman hutan. Berbeda sekali rasanya dengan hutan-hutan pegununugan yang pernah saya lihat di Gununug Lawu, Sumbing, Sindoro, atau Semeru.
Kebanyakan hutan-hutan di gunung yang saya sebut tadi hutannya mulai homogen dan sedikit variasi jenis pepohonan. Ada juga yang kebanyakan ladang perkebunan warga,  kemudian hutan homogen yang sepertinya hasil reboisasi dan padang belukar. Ini mungkin karena faktor ketinggian tempat varietas tanaman di hutan tadi tumbuh. Dari empat gunung yang saya sebutkan diatas kesemuanya memulai jalur pendakian dari ketinggian 1000 mdpl. Menurut buku biologi yaang saya pernah baca, pada ketinggian diatas tersebut varietas tanaman yang tumbuh mulai menyusut. Hal ini dipengaruhi oleh temperatur yang berubah pada setiap ketinggian. Jika dibandingkan dengan hutan gunung Ciremai teori ini memang berlaku. Karena pendakian dimulai dari ketinggian 600 mdpl yang hutannya sangat lebat dan bervarietas heterogen. Dan semakin ketinggiannya naik varietas yang adaa juga semkin menyusut.
Kembali lagi pada cerita pendakian, dua jam setelah pendakian akhirnya kami sampai di pos Kondang Amis. Beristirahat sejenak disini dan kembali melanjutkan perjalanan. Mulai dari sini mulai ada perubahan darstis pada jalur trekking pendakian. Yang mulanya dari basecamp sampai Kondang Amis kemiringan jalur pendakian masih bisa ditolerir. Karena masih kurang dari 45*. Mulai dari sini nama-nama pos pendakian mulai menunjukkan identitas sesuangguhnya. Ada Tanjakan Kuda Mati yang miringnya membuat serasa badan merayap di tanah. Konon katanya, di Tanjakan Kuda ini Kuda sunan Gunung Jati dan Kuda pendaki Belanda mati saat mencoba mendaki. Saya jadi mafhum dengan penamaan tersebut karena saking miringnya tanjakan ini wajar saja kuda tidak bisa mendaki dan tergelincir dan akhirnya membawanya pada kematian.
 Di Pangalap dan Tanjakan Seruni sendiri jalurnya adalah akar-akar pepopohan layaknya Wall  panjat tebing. Mulai dari Pengalap kami mulai mencari tempat untuk camping karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sulit untuk mencari tempat Camp di jalur pendakian yang miringnya lebih dari 45*. Wahyu sempat melihat Siamang hutan yang katanya sebesar manusia. Menurutku terlalu besar untuk ukuran Siamang. Keterkejutannya membuat ia bersembunyi di balik pohon sampai aku kembali menyusulnya. Kami akhirnya menemukan tempat camping yang sempit diantara pos Pangalap dan Tanjakan Seruni yang pada ketinggian 1800 mdpl.
Saat sibuk memasang tenda dome ada  tiga rombongan pendaki yang turun. Mereka mereka ini dua rombongan dari Bandung dan satu rombongan dari Jakarta. Satu Rombongan dari Bandung (saya lupa menanyakan dari organisasi apa) sempat beramah tamah dengan kami dan memberi oleh-oleh berupa 2 kantong Ceres, 20 kantong Cappucinno dan gula. Kata mereka ini hadiah persahabatan sebagai pendaki. Tapi menurutku mungkin juga kedok mengurangi beban yang berat.
Malam ini setelah makan malam dengan kenyang ditemani Cappucino hangat gratisan kami beranjak untuk tidur. Tapi di  tengah malam saya terbangun dan sepertinya yang lain juga terjaga. Di luar ada suara berisik yang asing dari suara hutan lainnya. Suara burung hantu, anjing hutan, angin berdesir sebenarnya sudah menakutkan di hutan gelap ini. Tapi dengan tambahan suara asing di sekitar tenda membuat ini menjadi lebih seram. Wikan dan Tifani kata mereka mendengar suara monyet dan ayam yang sepertinya mondar-madir di sekitar tenda Hanif dan Jerry tidak peduli dan berusaha tidur, Wahyu sendiri malam mendengar suara paling mengerikan, cekikikan Kuda. Aku lebih memilih untuk tidak peduli juga dan mulai berusaha tidur.
Senin, 13 Juni 2011
            Kami bangun pagi-pagi jam 5 pagi utnuk bikin sarapan bongkar tenda dan siap-siap melanjutkan pendakian. Pendakian dimulai jam 8 pagi dan terus kami lanjutkan sampai pukul 11 siang dan akhirnya sampai di pos Batu Lingga 2200 mdpl.  Setelah berdiskusi sedikit kami memtuskan mendirikan camp kecil disini dan menaruh barang seperlunya. Rencana tak terduga ini ialah kami akan menuju puncak langsung dengan mungurangi beban. Dengan membawa beban seperlunya berupa alat penyelamatan (Rescue), makan siang, air secukupnya dan ponco. Semua setuju dan melanjutkan pejalanan.
Dari Batu Lingga tanaman mulai homogen dan ketinggian tanaman mulai rendah. Sempat beristirahat di pos Sangga Buana 1 dan kami lanjutkan ke pos Sangga Buana 2 dan akhirnya sampai di Pengasianan 2800 (mdpl). Waktu menujukkan pukul 1 siang dan jarak ke puncak tinggal 800 meter lagi. Disini kami beristirahat sejenak dan Jerry memrintahkan mengeluarkan kompor Parafin untuk memasak air untuk Cappucino. Malangnya setelah kami periksa ternyata kami cuma membawa satu botol air yang isinya tinggal setengah. Entah bagaimana kami lupa membawa 2 botol air lagi.
 Jerry marah-marah dalam kondisi ini. Tanpa banyak pikir dia memerintahkan untuk saya dan Hanif untuk turun mengambil air di Camp kecil di Batu Lingga. Enak saja dia perintah-perintah, jarak Pangasinan ke Batu Lingga itu 1,5 km lebih jaraknya dan harus turun naik gunung untuk kembali lagi. Situasi mulai mengarah ke konflik internal dan samapi-sampai Jerry mengancam membatalakan ke Puncak. Kalau saja dia bukan pimpinan pendakian mungkin saja saya akan ladeni kemarahannya dan melanjutkan konflik ini. Terpaksa saya dan Hanif turun ke Batu Lingga sebagai pihak yang dianggap masih punya tenaga. Baru -baru ini saya sadari kenapa saya mau melakukan hal melelahkan itu demi muncak Ciremai. 
Serangan ke puncak akhirnya tertunda sampai jam 3 sore karena mununggu kami berdua mengmbil air. Langit mulai menunjukkan warna jingga. Saya lihat Jerry sudah tidak marah-marah lagi dan sudah bercanda lagi. Kami berdua lebih memlihi tiduran sejenak karena capek. Kemudian kami lanjutkan perjalana ke puncak yang tinggal 0,8 km lagi. Walau dekat rasanya tetap saja sulit karena jalan yang mendaki dan curam. Rasa kesal akibat konflik kecil tadi serasa hilang sudah karena pengin cepat sampai ke puncak. Sempat berpapasan denagn pendaki lain yang kemping di sekitar jalur.
Wahyu yang berjalan paling depan sesekali mengucapkan kalimat bernada “capek, tinggi banget, kapan sampainya?” dan terus berjalan. Seolah-olah kata-kata pesimis tadi adalah kata-kata motivasi penyemangatnya. Yang lain juga tamapk seperti wahyu. Kecuali Jerry yang setiap kali bareng dia naik gunung gayanya serasa biasa saja. Malah sempat bercanda di situasi yang miring ini.
Tinggal beberapa langkah lagi ke puncak wahyu berlari dengan semangat yang padahal awalnya tampak pesimis. Cepat sekali perubahannya seperti seorang penderita manik disorder. “Huhuhu, saya yang pertama muncak Ciremai!’ teriak dia berulang-ulang. Kemudian disusul aku, Wikan, Moni, Jerry dan Hanif. Suasana menjadi suka cita di latar belakangi langit yang senja. Di puncak ini tertera nama Puncak Panglongokan  3027 mdpl. Kawahnya teramat lebar dan katanya harus memakan waktu satu jam untuk mengitarinya.  Terlalu capek dan kami tidak punya waktu. Jadi kami lebih memilih bersenag-senang di satu titik puncak dnegan photo-photo, merekam  video, telepon Palapsier dan teman-teman dan Ngopi Cappucino lagi. Serasa tidak ada masalah sebelumnya.
Ada hal yang paling penting lagi. Tifani atau Moni ternyata pada hari ini 13 Juni 2011 berulang tahun ke 19 tahun. Beruntung sekali dan senag sekali dia karena bisa merayakan ulang tahunnya di Puncak Ciremai. Sedikit pesta kecil dengan minuman puncak, Cappucino, biskuit dan Apel asem yang kubawa dari Jogja. Selagi di Puncak kami sempat menelpon Diyan dan Deddy (2009) yang tidak bisa ikut sampai akhir dalam rangkaian FUD ini. Tapi bagi kami kalian selalu bersama kami dalam pendakian ini. Walalu sekedar berupa barang pinjaman dari kalian.
Jam lima sore kami mulai turun dan baru sampai ke Batu lingga pada jam 8 malam. Satu malam lagi kemping disini sebelum menlanjutkan perjalanan lagi besoknya. Sesampainya di tenda unutng barang-barang kami masih utuh seperti saat kami tinggal waktu ambil air tadi. Malam ini kami makan malam dengan kenntang panggang yang iseng kami buat dan ternyata enak rasanya. Wikan sempat marah-marah karena aku sembarangan menghabiskan bahan masakan untuk di eksperimen dibakar. Untung masih bisa dimakan.
Selasa, 14 Juni 2011
            Hari ini dengan mengulangi ritme kemping dipagi hari kami bikin sarapan, sarapan, dan bongkar tenda. Hari cerah dan sesuai harapan selama pendakian hari tidak hujan. Kami mulai perjalnan turun jam 8 pagi. Perjalanan turun biasanaya selalu lebih cepat dan lebih menyakitkan buaat kaki. Sempat berhenti di tanjakan Kuburan Kuda dan iseng mencari kuburan kuda yang barangkali ada. Di Kondang Amis juga sekalian iseng ke mata air yang ternyata kering di musim kemarau ini. Akhirnya kami sampai di Basecamp pada pukul 4 sore. Di depan basecamp ada kelurga pak Tatang yang lagi santai sore.
Malam ini kami memutuskan untuk menginap semalam lagi disini seblum melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Dengan makan Nasi Goreng buatan istri Pak Tatang kami bisa istirahat dengan perut kenyang. Rasanya selalu nyaman dan aman kalau sudah berada di pemukiman, walaupun itu rumah orang. Tetapi lebih menyenangkan lagi karena kami berhasil menyelesaikan misi kami kali ini, berkunjung ke Puncak Panglokan Gunung Ciremai.