Cerita Seorang Pendaki Gunung
Blog yang berisi informasi gunung berapi yang sering didaki di pulau jawa gunung Ciremai, tangkuban perahu, semeru, merapi, lawu, sindoro, sumbing, turgo, jabolarangan, ungaran, merbabu, gede, pangrango, salak, dan info-info mengenai mountainaring, trekking, survival, hobi mendak gunung, cerita pendek tentang pendakian
Senin, 14 Mei 2012
Cerita Seorang Pendaki Gunung: Trip to Bromo Part 1
Cerita Seorang Pendaki Gunung: Trip to Bromo Part 1: Pare, Desa Wisata pendidikan dan Tempat Banyak English Course. Saat libur semester genap yang lamanya bisa sampai 2 bulan, k...
Trip to Bromo Part 1
Pare, Desa Wisata
pendidikan dan Tempat Banyak English Course.
Saat
libur semester genap yang lamanya bisa sampai 2 bulan, kebanyakan anak rantauan
akan memilih untuk langsung pulang ke kampung halaman. Tapi tidak semuanya.
Beberapa mahasiswa memutuskan untuk tetap di lingkungan kampus, entah
berkegiatan organisasi, mengambil les bahasa asing atau kalau beruntung bisa
kerja sambilan. Aku tidak memilih dua diantaranya. Pulang ke kampung halaman
atau tetap di jogja menurutku pilihan yang, rasanya sedikit membosankan. Aku
ingin berlibur ke tempat lain dan kupikir inilah saatnya. Lagipula kalau harus
pulang berlibur ke kampung halaman saja untuk bertemu orang tua dan teman lama
aku bisa lakukan di sisa 1 bulan berikutnya.
Sebenarnya
di Jogja juga ada kegiatan yang tidak kalah jauh menariknya. Panitia ospek
kampus sedang dibentuk dan akan mempersiapkannya selama 1,5 bulan kedepan
sebelum ospek yang 2 minggu sebelum tahun ajaran baru. Menjadi panitia ospek
sepertinya mengasyikkan karena bisa banyak belajar hal baru atau melihat
muka-muka baru, khusunya yang cantik. Tapi aku pikir terlalu boros waktu yang
kuberikan jika harus ikut persiapan kegiatan, yang ternyata kegiatan opspeknya
cuma berlangsung selama 4 hari. Lagipula aku belum siap untuk menjadi pelayan
masyarakat seperti itu. Jadi aku memutuskan membuat rencana lonely-travelling pertamaku, ke Pare di Kediri Jawa Timur sana.
Dari
beberapa kontak teman lama yang kupunya, kutahu Soegeng sedang di Pare untuk
ikut program les bahasa Inggris di Kampung Pare yang banyak tempat les bahasa
inggris berasrama. Setiap musim liburan kampung kecil di wilayah kabupaten
kediri ini ramai dikunjungi banyak mahasiswa untuk belajar bahasa inggris.
Adanya sistem asrama dan banyaknya tempat les membuat suasana disana menjadi
tempat yang lumayan kondusif untuk belajar. Apalagi biaya yang ditawarkan
termasuk murah untuk iuran les, pondokan asrama dan harga makanan harian. Buat
detilnya aku tidak bisa membahasnya disini. Inti ceritanya aku pun pergi ke
Pare menyusul teman lamaku itu dengan berbekal info dari internet dan tanya
temanku itu, yang sudah setahun tidak bertemu.
Dengan
kereta api jurusan Yogyakarta-Banyuwangi aku turun di Stasuin kota Jombang,
tiket Rp35.000. Kemudian diteruskan menuju desa Pare langsung dengan naik
angkutan Elf, Rp10.000. Pemandangan
yang ditawarkan selama perjalanan kereta lumayan indah. Apalagi ini pertama
kalinya aku menyambangi daerah Jawa Timur. Sawah luas yang hijau, menguning
atau berlumpur. Kebun dan hutan yang saling mneyamai. Pegunungan dan sungai
yang kadang terlihat di sepanjang perjalanan. Tidak lupa pula ditambah dengan
mosaik pemukiman sepanjang perjalanan yang sulit mau dikomentari indah
buruknya. Sebenarnya pemandangan yang terlihat agak mirip-miriplah dengan di
Yogyakarta. Tapi bagi para pelancong yang ke suatu wilayah baru manapun, hal
seperti ini selalu menjadi menarik.
Sesampainya
di desa Pare aku masih bingung dengan arah yang ada. Di jogja aku sudah ikut
kebiasaan menentukan arah dengan mengikuti arah angin, Utara untuk Merapi dan
selatan untuk Parang Tritis. Klau di Sumatera dulu, Hulu untuk ke desa A dan
Hilir untuk ke Kota X. Dis Jawa Timur, aku belum tahu kebiasaan orang sini.
Suku memang Jawa juga seperti di Jogja. Tapi suatu budaya bisa begitu kompleks
jika wilayah dan penduduknya begitu beragam.
Posisiku sekarang ada di pinggiran desa
ini, itulah yang kupikir. Aku mengingat-ingat peta google-earth yang kupelajari di internet. Tempat temanku pondokan
katanya berada di English Course Elfast, dekat kantor desa dekat masjid. Tapi
desa kecil yang kubayangkan tadi diluar ekspektasiku. Ada lima dusun di desa
ini. diikuti jumlah masjid dan mushola yangyang jumlahnya ikut berlipat. Aku
teringat lagu Gigi; Suasana di Kota Santri, sesuai sekali
dengan citra Jawa Timur sebagai provinsi Santri dan NU. Walau banyak juga penyanyi dangdut vulgar yang berasal dari
provinsi ini, ironi. Sepertinya mencoba
kemapuan navigasi darat dan kemampuan melacakku saat ini bukanlah waktu yang
tepat. Karena merasa lelah aku memutuskan untuk menelpon temaku menjemputku di
masjid yang ada di dekatku.
Soegeng, mahasiswa Teknik Industri
Univeersitas Indonesia seangkatan denganku dan juga satu SMA. Walau kami tidak
pernah sekelas semasa SMA hubungan kami berdua sebagai teman saling menguntungkan
dan tidak saling memanfaatkan. Jika ia ke jogja, ia akan mampir ke tempatku.
Jika aku ke jakarta, aku akan mampir ke kosan dia. Jika di kampung halaman kami
malah tidak bertemu. Tapi di Pare ini ia akan menjadi teman satu pondokan
tempat les.
Sebelum ke Pare aku telah merencanakan
beberapa tempat les lokal yang akan aku sambangi untuk belajar. Hari sudah sore
dan badan sudah lelah. Dengan penuh pengertian Soegeng merelakan tempat
tidurnya untuk aku “teparin”. Besok hari masih panjang untuk mengisi waktu dan
mewujudkan rencanaku.
Senin, 07 Mei 2012
Tangkuban Perahu Juga Gunung Loh!
Ini
cerita tentang persentuhan pertama saya dengan gunung api pertama di Jawa yang
saya kunjungi. Saat itu libur kenaikan kelas 3 SD. Aku bersama keluargaku pergi jalan-jalan ke
gunung Tangkuban perahu. Sebenarnya saat ke gunung Tangkuban Perahu bisa
dibilang kami tidak melakukan pendakian,
makanya saya tulis mengunjungi. Toh, buat jalan-jalan ke gunung ga harus
mendaki dengan ala pendaki gunung profesial juga kan. Lagipula usia saya pada
saat itu masih 8 tahun dan keluargaku bukanlah keluarga pendaki. Lagi pula
yang kami cari adalah esensi keharmonisan liburan keluarga, bukan pendakian
gunung ala pecinta alam. Soal tahunnya, aku kurang ingat mungkin 1999 atau 2000.
Bisa
pergi jalan-jalan bareng keluarga ke Jawa Barat merupakan pengalaman yang lebih
seru dibandingkan hanya menghabiskan liburan di kampung halaman saya bersama
teman yang itu-itu saja. Yah, bukan bosan dengan mereka sih. Cuma rasanya lebih
seru saja kalau ada kesempatan liburan yang lebih menarik dengan petualangan
seru ke Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Ditambah lagi pada saat itu film
Petualangan Sherina lagi terkenal-terkenalnya. Dan aku tahu film itu syutingnya di Jawa Barat. Secara aneh
aku berharap aja ketemu Sherina yang seusiaku pada saat itu. Hehehe mimpi kali
ya.
Gunung Tangkuban Perahu terltak sekitar
Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung. Gunung ini mempunyai
ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat
erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan
melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang,
mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang.
Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutani. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC
pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.
Untuk
mencapai gunung Tangkuban Perahu, kita
bisa menuju daerah Lembang tepatnya desa Cikole,
kurang lebih 30 menit dari Bandung menggunakan kendaraan bermotor. Ada dua alternatif
jalan menuju Tangkuban Perahu. Yang pertama jalur utama, yakni jalur kendaraan bermotor
(baik motor, mobil maupun bus)
masuk melalui jalan raya Lembang-Subang. Jaraknya kurang lebih 3 km dari
gerbang. Jalur yang kedua masuk melalui kawasan Jayagiri,
biasanya ini untuk jalur hiking.
Track ini jalannya menanjak dengan kemiringan sekitar 300 Celcius. Harga
tiket masuk kawasan Tangkuban perahu Rp. 13.000, sedangkan untuk yang masuk
melalui kawasan Jayagiri ditambah Rp. 4.000.
Di
kawasan Lembang ini merupakan tempat yang banyak spot-spot wisata khusus seperti
bumu perkemahan, tempat outbound, pemandian air panas, kebun buah atau sekedar
melihat pemandangan di pinggir jalan. Pokoknya objek wisata yang ditawarkan
disini lebih berpusat pada wisata panorama alam dari hutan dan pegunungannya
yang sejuk.
Balik ke tujuan semula, Tangkuban
perahu. Dari Subang
setelah mendapatkan jalan raya menuju pintu gerbang objek wisata gunung
tangkuban perahu. Disana bagi yang punya kendaraan pribadi, seperti sepeda
motor atau mobil, boleh langsung meneruskan perjalanan menuju kawah gunung
tangkuban perahu. Tentunya setelah membayar retribusi masuk lokasi wisata. Jika
menggunakan bus pariwisata yang gedenya memakan lebarnya jalan yanga ada. Maka
para wisatawan harus turun dan boleh ikut menumpang mobil tour yang disediakan
oleh pengelola wisata secara gratis. Karena keluargaku ikut bus wisata, kami
ikut tumpangan gratis ini.
Dari sini kami meneruskan perjalanan
yang memakan waktu tidak lebih dari 20 menit. Hutan yang ada seingat saya
mirip-mirip di film Jurasic Park
dikit lah. Lebat banget, apalagi ada pohon-pohon pakis haji (paku-pakuan) yang
menambah nuasa hutan yang sangat lebat.
Ditambah nuansa magis dari kabut yang menyelimuti lembah. Sepanjang
perjalanan di mobil tumpangan yang tanpa jendela ini obrolannya tak jauh dari
guyonan siapa yang kentut. Karena semakin keatas semakin tercium bau kentut
gunung yang menyengat, gas belereng dari kawah gunung tangkuban perahu. Dan tanpa terasa sudah
sampai saja di parkiran wisata di
seputaran bibir kawah gunung tangkuban perahu.
Kalau boleh banggain pendapat
pribadi, ini dia enaknya jalan-jalan ke Tangkuban Perahu. Karena cepat
sampainya karena bisa naik kendaraan, dan bisa rame rame sekalian sama
keluarga. Ditambah kita sudah bisa
menikmati nuansa puncak gunung . Tanpa harus capek-capek kayak naik gunung yang
harus trekking jalan kaki. Memang sih
kalau kata para orang yang pernah naik gunung secara trekking atau pendapat orang kebanyakan naik tangkuban perahu belum
bisa disebut naik gunung. Tapi buat mereka-mereka yang anak-anak, manula, para
manusia kuat yang merasa lemah atau ga
minat kalau diajakin naik gunung yang sebenarnya. Gunung wisata kayak tangkuban
perahu inilah alternatifnya.
Toh
pemandangan yang didapat sama indahnya kok kayak gunung-gunung yang lain. Ada
kawah gunung berapinya yang negluarin gas terus-menerus, hutan pegunungan yang
pohonnya pendek-pendek, awan yang terlihat di atas kepalla dan dibawah
lembahan, pemandangan dari ketinggian plus
suhu penggunungan yang dingin. Ditambah lagi ada yang jualan bakso anget di
emperan toko souvenir batu antik,
yang juga menjual kayu awet muda, bubuk belerang dan souvenir lainnya.
Yah agak malu-maluin sih kalau
dibilang kok bisa bangga naik gunung kayak ginian. Tapi kalau dari aku sendiri
walaupun naik gunung wisata kayak gini ga terlalu “menantang”. Tapi buatku ini
merupakan awal pertamaku menyukai wisata-wisata alam pegununggan. Sampai-sampai
bikin keinginan buat naik gunung Dempo di provinsi kempung halamanku kalau
sudah lebih gede nantinya. Jadi, kalau kalian minat buat coba wisata ke gunung,
tapi ga mau capek, kenapa ga Tangkuban perahu aja.
Minggu, 06 Mei 2012
Harimau tandang
Sedikit ceritaku dengan kakekku saat ia mengajakku bertandang di kebun kopi. sedikit berbumubu mitos lokal sih untuk menambah keseruan. pernah dipublikasikan di blok lama saya yang saya lupa passwordnya.
..................................................................................................................................
Semua semua pria di dunia , aku begitu senang
mendengar kata petualangan. Liburan lebaran tahun ini begitu istimewa dan
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Desa kakekku sangat jauh dari kotaku yang
lebih maju dari desa ini. Tapi bukan berarti desa ini tidak lebih menyenangkan
dari kota yang kutempati.Tiga hari lebaran belum dingin dan orang-orang yang
mudik belum juga pulang. Kakekku sudah tidak sabar hendak pergi ke Talang di
atas punggung gunung sana. Orang di kampung ini punya banyak kebon kopi dan
lada di atas dan di sekitar gunung sana. Kakekku punya banyak dan salah satunya
di atas punggung gunung itu. Sangat jauh dan butuh tenaga ekstra untuk
mendakinya.
Dengan menumpangi mobil kanvas atau mobil Off-Road
yang sudah tua dan tampak menyedihkan. Pagi-pagi sekali kami berangkat kesana.
Mobil ini sangat tangguh untuk jalur-jalur pedalaman yang ekstrem dan
mematikan. Sayangnya usianya sudah tua dan karatan. Asapnya hitam dan mengepul
menyebar polusi dan pesan mobil ini sudah rusak. Warna catnya yang pudar dan
serta kotoran yang ada dimana-mana disisi mobil Herkules ini. Membuatku sedikit
ngeri kalau-kalau mobil ini meledak atau terbalik saat mendaki dan menempuh
perjalanan yang berbahaya ini.
Mulanya perjalanan ini masih berjalan lancar dengan
melalui jalan aspal yang licin.
Tapi setelah kami keluar dari jalan kecamatan
sedikit-sedikit jalan berubah. Awalnya menjadi aspal berbatu, tanah berbatu dan
akhirnya jalan tanah yang sempit dan penuh lumpur. Ditambah lagi perjalanan
yang mendaki. Hebatnya mobil ini tetap tangguh dan tegar.
Sesungguhnya jalan ini adalah jalan impian dan
dicari-cari para Off-Roader sejati. Tanjakan dan turunan yang terjal,
berkelok-kelok, lubang-lubang besar berlumpur serta semak belukar di kanan kiri
yang tingginya melebihi tnggi badan orng dewasa. Serta hutan belukar dan
kebon-kebon yang terbengkalai di kanan kiri jalan. Namun indah dengan
pemandangannya. Aku melambung tinggi dalam petualangan ini yang sesungguhnya
biasa-biasa saja bagi orang-orang disisiku ini
”Wak, wak, wak Zaini hendak kemana kalian berdua? Air
ringgkeh apa Talang ading?” Tanya sopir yang mobilnya kami timpangi ini.
Mungkin ia suah saling kenal dengan kakekku. Sehingga kami bleh ikut mereka.
” Ke Air ringgkih Zul.”
”Oh..... Sayang nian wak kami hendak ke Talang Ading.
Maaf nian wak kamu turun di simpang Air hitam bae wak.”
“Au…. Tidak apa, kami turun disane bae lagi pula sudah
dekat.”
”Siapa bujang ini wak?Cucu kamu wak?” Wanita paruh
baya yang duduk disebelah sopir itu bertanya. Mungkin dia istrinya sopir ini
dan dua pria di sebelah kami adalah anak-anak bujangnya.
”Cucuku, dari kota Lahat. Dia ingin lihat kebon di
bukit . Aku ajak saja dia daripada nganggur di kutiggal di desa.” Tersenyum
padaku. Siapa yang mau bukankah kakekku yang mengajak. Tapi tidak apa aku suka
perjalanan ini.
”Oh jeme Lahat, iluk nian sekali-sekali ikut Kakek ke
kebon.” Aku tersenyum dan menunduk.
***
Aku hampir pingsan karena perjalanan kedua setelah
turun dari mobil tadi. Dri simpang Air hitam kami akan berjalan menelusuri
jalan ekstrem ini. Kemudian melalui jalan tikus untuk menuju balik bukit yang
terlihat dekat. Sudah tiga kali kakekku berkata,”Sedikit lagi sampai itu di
balik bukit sana, dekat.”Bukit ini adalah bagian dari Pegunungan Bukit barisan
dan berada di samping Gunung Dingin.
Tiga jam
lebih kami berjalan dan mendaki naik turun bukit. Aku terlihat sekarat karena
mendaki terus. Padahal bawaanku hanya tas ransel
kecil yang cukup ringan dibandingkan bawaan kakekku.
Bawaanya pasti lebih berat dari berat badanku dan ia masih semangat dan kuat.
Tapi semua itu terhapuskan sudah setelah kakekku berkata, ”Nah sampai kita, ini
bukit terakhir itu dia kampungnya.”
Bukit terakhir , entah bagaiman menggambarkan
perasaanku yang telah mencapainya. Dari puncak bukit ini terlihat rumah-rumah
perkampungan kakekku yang kecil di bawah sana. Terlihat jelas pula hutan
belantara yang lebat. namun diselingi petak-petak ladang yang baru dibuka oleh
petani ladang berpindah. Dusun Air ringgke ada di atas bukit ini yang datar di
puncuknya.Ada sembilan rumah yang terlihat . Sedikit sekali untuk dikatakan
sebuah dusun.
Aku sedikit kecewa setelah sampai di dusun ini.Sepi
bukan buatan, tak terlihat siapa-siapa disini. Hanya ayam dan itik yang
berkicau pertanda desa ini ada penghuninya. Kata kakekku ini namanya talang
lebih kecil dari dusun dan orang biasanya hanya tinggal sementara disini.
Tentunya mereka masih tinggal Perkampungan induk yang lebih besar.
”Oi wak Zaini alangkah cepat kamu datang kekebon kali
ini.” Tiba-tiba saja ada seseorang yang keluar dari salah satu pondok disini.
Ia sudah tua dan kemungkinan besar dia adalah teman kakekku.
”OI wak.... Basin bukankah awak juga begitu. Aku
khawatir dengan buah Ladaku yang sudah matang dan tinggal dipanen. Sekalian aku
ajak cucuku ini tuk lihat kebon di bukit. Biasa dia orang kota , tak biasa dia
lihat bukit.”
”Au..... aku juga begitu wak Zaini. Ngeri juga aku
dengan maling kebon sekarang. Awas kalau ketemu kuhajar dia.”
Maling kebon, ah baru kutahu kenapa kakekku cepat
cepat ke kebon ini. itulah ternyata alasannya. Setelah saling memberi
berbincang sebentar tadi kami menuju pondok kakekku. Letaknya di depan pondok
wak basin yang hanya dipisahkan sebidang tanah yang tak ditumbuhi rumput.
karena digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Pondok kakekku berupa rumah
panggung kecil yang sebagian besar bahannya dari bambu. Mulai dari tiangnya,
lantainya dan dindinggnya. hanya beberapa bagian dari bahan kayu dan atapnya
dari seng.Dindiingnya berasal dari bambu yang dibelah dua kemudian dipipih.
bukan seperti bilik bambu yang ada pada rumah orang Jawa dan sunda.
Ruangannya saja hanya ada tiga bagian, ruang tamu yang
sekaligus tempat tidur, gudang yang lebih besar dari ruang tamu dan dapur yang
sangat kecil. jendelapun tidak ada hanya ada pintu depan dan belakang sebagai
tempat sirkulasi udara. Sungguh sederhana dan ini bukanlah kemiskinan teman.
karena ini hanya rumah kedua sebagai tempat persinggahan.
”Ayo Giri , kite cakagh makanan tuk makan malam ni!”
Setelah menaruh barang di pondok dan masak nasi dan
air. Kakekku mengajakku keliling ke sekitar talang ini dan menuju ladang sayur.
Ternyata setelah dilihat-lihat Talang ini ada juga geliat kehidupannya.
Rumahnyapun ternyata ada enambelas rumah dan ada juga satu warung kelontong
yang masih tutup. Rumah yang baru berisi pun baru lima rumah yang kuketahui.
Talang ini dibelah oleh sebuah sungai kecil yang airnya bening, jernih dan
sangat dingin. Pohon-pohon durian, petai, kemang, menjulang tinggi
disekitarnya. Serta hutan belantara yang mengelilinginya dan mungkin saja masih
perawan dan penuh akan hewan buas.
Di sungai kecil ini, kakekku memasang Bubu dan pukat
jaring. Katanya, cari ikan untuk lauk besok pagi, semoga saja dapat banyak.
Kemudian setelah itu kami ke kebon sayur milik seorang wanita yang sayurnya
diminta cuma-cuma saja oleh kakekku. Setelah itu kami pergi ke kebon kopi yang
sekaligus kebon lada milik kakekku, tidak terlalu jauh.
Rasanya wajar saja kakeku cepat-cepat mengunjungi
kebon ini. Sudah dua minggu lebih ditinggalkannya. Buah ladanya suah matang dan
tinggal dipanen saja. Sangat bahaya jika ditinggalkan lama-lama. karena hanya
dari buah Lada inilah kakekku dapat membeli barang-barang mewah yang
dinginkannya. Seperti Tv, Digital, Mesin air, lampu Petromax,Radio tave dan
yang sekarang paling terfavorit di desa ”Sepeda motor.”
”Hoi Zaini, siapa bocah yang bersamamu ini?”, tak tahu
dari mana datangnya tiba-tiba saja ada orang dibelakang kami.Penampilannya juga
sangat menyeramkan. Orang ini sudah sangat tua, berkulit hitam kecoklatan,
sedikit bungkuk tapi berisi,Rambutnya putih masai,dan mata kananya picing. tapi
tatapan matanya yang tinggal sebelah sangat tajam dandapat menundukkan siapa
saja. Dan ia terus menatapku sangat mengerikan, akupun tertunduk.
”Ai wak Hitam , terkejut aku. Apa kabar wak...”
”Siapa bocah ini?” Sergahnya kepada kakekku.
”Cucuku,cucuku. dia ikut aku tuk lihat kebon di bukit
nih.”
”Hhmm..... Cucu kau ya. Ajari dia sopan santun, jangan
lagi tangannya jahil. Baru pertama kesini sudah berani dia kencing
sembarangan.” langsung saja ia meninggalkan kami setelah mengatakan itu.
Aku mengerti, pantas mengapa ia tajam melototiku. Tadi
ketika melewati pohon Kemiling besar aku tanpa sengaja kencing sembarang.
Menurut kebiasaan itu tidaklah boleh karena dapat menyinggung dedemit di
sekitar sana. Tapi kapan ia malihatku, dari tadi rasanya tak ada yang mengikuti
kami dan orang yang kami lewati. Aneh.
***
Setelah kakekku menjelaskan, baru kutahu siapa orang
tua yang melottiku tadi. Ia sedikit marah padaku karena perbuatanku. Katanya
pria tua itu adalah seorang dukun sakti, tabib besar kecamatan ini, kepala
talang enambelas rumah ini, dan orang tertua yang pernah kutemui. Serta
penghuni tetap talang ini, entah tak tahu kenapa. Ternyata ada juga orang yang
kerasan tinggal di talang kecil, tertinggal nun jauh di atas bukit ini.
Malamnya setelah kami makan malam dengan lauk seadanya
kami pergi ke pondok wak basin yang menyapa kami siang tadi. Kami berjalan
beriringan dengan penerangan sebuah senter. Malam benar-benar gelap gulita di
tengah hutan ini. Tidak ada bulan ataupun bintang gemintang. Karena awan hujan
telah menutupi langit sejak sore tadi. Ini merupakan pertama kalinya aku
merasakan malam segelap dan sepekat ini. Hitam, yang ada hanya hitam yang abegitu
gelap. bahkan senter saja tak sanggup menyinari tubuhnya sendiri. Inilah
kegelapan dan semua cahaya diserap olehnya.
Di pondok itu cukup ramai dan cukup terang dengan
adanya lampu Petromax disana.Di pondok itu ada kami, wak Basin dengan tiga
anggota kelurganya juga salah satu tetangga yang telah datang di kebon ini.
Hanya Wak Hitam yang tidak hadir. Mereka saling berceeritera mengenai Lebaran
dan puasa yang baru meninggalaknan umat muslim. Juga beberapa kabar lainnya dan
harga Kopi dan Lada yang naik sedikit.
”Oi wak basin, aku baru dengar di pasar tadi. Harga
kopi naik tiga ribu dan harga Lada naik dua ribu. Semoga saja naik terus Wak
basin, Biar berubah juga hidup kita ini.”
” Aii.. Benarkah itu Wak Zaini kalau begitu Bisa pergi
haji aku tahun ini.”
” Amin, Asal tidak ada kendala lainnya bisa kita
wujudkan. Nah ayo di minum Kopinya nanti dingin pula.”
Nikmat juga malam ini walau penuh dengan kesederhanaan
bersama para petani ini. Jamuan yang disuguhkanpun sanagt sederhana, Kopi pahit
dan pisang goreng. Aku tidak meminum kopinya setelah hirupan pertama yang
langsung kusemburkan. Para petani tertawa girang melihat tinggkahku.
Mengasikkan juga rasanya berkumpul dengan mereka.
Ketika jam sepuluh malam lewat sedikit aku pamit
meninggalkan pondok karena telah mengantuk. Kakekku tinggal disana dan aku
pulang sendiri dengan hanya dipinjami ebuah lampu teplok. Tidak ada yang
memerhatikanku saat aku pergi. Cahaya penuntunku hanya lampu teplok ini dan
angin malmam tak mau bersahabat. Aku ketakutan di tengah kegelapan ini dan
terus mempercepat langgkahku.
Ketakutanku semakin menjadi saat kusadari ada sepasang
mata yang mengintaiku di semak belukar sana. Kuning besar tajam dan terus
nmengintaiku. Aku mempercepat langkah dan mencoba tak melihatnya.kemudian
disaat kilat menyambar terpencarlah cahaya yang menampakkan sosok pemilik mata
tersebut. Wak hitam, tak salah aku melihatnya walau sepintas. Itu wak Hitam.
Secepatnya aku berlarimenuju pondok kakeku. Sayangnya
saat langkah terakhir sampai ke pondok lampu Teplokku mati ditiup angin.
Rasanya tubuhku ditahan oleh sesuatu untuk bergerak. Bahkan untuk minta tolong
saja aku tak sanggup berteriak. Untungglah kakekku tahu dan mengarahkan lampu
Petromax ke arahku. aku merasa begitu lega karenanya.
Setelah masuk ke pondok aku senang karena ada satu
lagi lampu teplok milik kami yang menyala. Aku langsung tidur dengan menutupi
kepalaku karena masih takut. Sayangnya kelegaan itu tak bertahan lama. Lampu
teplok di pondok ini juga mati. Aku ketakutan setengah mati sendirian di pondok
ini. Hingga sepanjang malam ini, sampai terlelap aku tak hentinya membaca ayat
kursi. Entah apa yang aku takuti, Kegelapan ini Ataukah Wak Hitam?
***
Aku sedikit bingung dengan apa yang kualami tadi
malam. Aku melihat sepasang mata tajam dan ketika kilat menyinarinya Wak Hitam
yang picing malah yang terlihat. Mata itu tajam berwarna kuning mengkilap daan
sedikit mirip mata kucing. kebingunganku belumlah usai saat aku terbangun dari
tidurku yang risau. Karena saat bangun Wak hitam sedang berbincang dengan
kakekku di beranda pondok .
Dia menatapku tajam walau hanya sekilas saat aku
keluar pondok. Mau apa dia pagi-pagi sekali kesini? Setelah beliau pergi kakekku
mengatakan bahwa kami akan pulang besok. Karena wak hitam berpesan pada kakekku
bahwa ada harimau lapar yang sedang berkeliaran di sekitar talang ini. Kenapa
tiak hari ini saja pulangnya? Aku sudah sedikit takut disini dan bodohnya aku
tidak menceritakan apa yang kulihat tadi malam .
Pagi ini kami sarapan enak dengan lauk ikan hasil dari jebakan yang
dipasang kemarin. Setelah itu kami pergi ke kebon. Disana aku membantu kakekku
memanen sedikit Lada. Memanen sungguh asyik, tinggal dipetik kemudian kau dapat
duit. Pantas sekarang banyak pencuri kebon karena tidak usah susah-susah
merawatnya. Kami hanya mengumpulkan sedikit lada karena panen sebenarnya bukan
hari ini.
Lewat tengah hari kami kembali kepondok. Setelah makan siangdan shalat zuhur kakeku mengajakku memancing. Beliau sempat memeriksa jaring pukatnya yang dipasang plagi pagi tadi. ikan disini banyak Buktinya baru setengah hari jaring dipasang ikan sudah ada yang bernasib sial. Kakekku banyak mendapat ikan dan aku hanya mendapat tiga ikan yang kecil-kecil.
Lewat tengah hari kami kembali kepondok. Setelah makan siangdan shalat zuhur kakeku mengajakku memancing. Beliau sempat memeriksa jaring pukatnya yang dipasang plagi pagi tadi. ikan disini banyak Buktinya baru setengah hari jaring dipasang ikan sudah ada yang bernasib sial. Kakekku banyak mendapat ikan dan aku hanya mendapat tiga ikan yang kecil-kecil.
Malam ini kami dan wak basin membuat acara bakar ikan
di pondok kakekku. Rupanya Wak basin tak menolak saat kami ajak kmembakar ikan.
Walau malam sangat sepi dan dingin . Selalu ada cara meramaikan malam jika ada
teman disisi kita. Bara api yang hangat sanagt membantu dalam mengatasi malm
yang dingin di atas pegnungan ini.
”Aiii.... Wak zaini mantap nian rejeki kamu hari ini.
Dapat ikan sebanyak ini . ai tak akan habis sekali duduk.”
”Ha ha ha...... Karena itulah aku mengajakmu wak
basin. Tak kan habis ikan ini seklai duduk , memangnya kami Harimau yang banyak
makannya. Ha ha ha......”
”Sssstt.... Aiii... Wak Zaini kenape
kau ucap kate Harimau. Pantangan Tak
mau aku mati malam ini”
Wak basin sedikit takut dan aku mengerti. Barang siape
pergi ke hutan, jangan kau sebut si raja hutan. kata orang tua dulu jika kita
menyebut nama Harimau di sarangnya, itu sama saj mengundangnya untuk datang.
Hujan pun turun dan wak basin berlari pulang ke pondoknya setelah pamit. Kami
juga cepat-cepat naik ke pondok. Tak mau kami kedinginan diluar. Sampai-sampai
kami lupa mematikan api unggun di bawah pondok.
Hujan turun begitu derasnya diiringi angin yang terus
meniup dingin masuk ke celah-celah pondok.Aku tak bisa tidur karena suara atap
seng yang begitu ribut. Kakekku sedikit kesa lpadaku saat aku mengatakan aku
mau turun ke sungai karena tak tahun mau buang hajat Padahal hujan turun begitu
derasnya. Tapi mau bagaimana lagi aku sudah tak tahan.
Sayangnya ketika turun pondok. Malang bukan
dibuat-buat, bala’ tak dapat ditampik. Baru kali ini aku terkejut bukan
kepalang. Kakeku juga begitu, ia sampai mengucap “Laila hailaulah”. Harimau,
ada Harimau yang tandang di bawah pondok kami. Warnanya kuning api
berbelang-belang. Badannya besar mengarkan dan siapapun yang melihatnya akan
merasa takjub dibuatnya.
Aku begitu beruntung bisa melihatnya langsung di hutan
rimba ini. Mungkin karenahujan yang begitu deras ini harimau itu singga
kberteduh kepondok ini. Ditambah lagi adanya api unggun yang masih hidup di
bawah pondok kami. Tapi ini bukanlah keberuntungan yang bagus karena bias-bisa
kami yang dijadikannya santap malam. Mahluk inidatang mungkin karena
mendengarundangan kakekku tadi. beliau sedikit menyesal dan cepat-cepat
menarikku naik ke pondok lagi.
Aku tak jadi buang hajat. Lagi pula rasa itu telah
tergantikan oleh ketakutan kami oleh harimau yang sedang tandang dibawah pondok
ini. Aku tak bias tidur dn kakekku terus mengaji surah Yassin yang dihapalnya.
Siapapun pasti takut jika dikunjungi Si raja hutan ini.
Rasanya ingin secepatnya kami ulang. Kuberi tahu
teman, melihat harimau Secara langsung di kampungnya bukanlah sepetimelihat
Harimau di kebun binatang atu sirkus. Ini pertaungan antara dimakan atau
selamat.
***
Paginya kami bergegas pulang secepatnya ke
perkampungan di bawah sana. Wak basin Juga ingin pulang etelah mendengar cerita
kami. Tapi dia punya enjata api yang memberanikannya tinggal semalam lagi
disini. Sedangkan Wak Hitam tak tampak saat kami ingin pamit pulang. Kami
berjalan cepar menuruni bukit menuju Simpang Air hitam menunggu mobil yang akan
menuju ke perkampungan. Untunglah ada mobil yang lewat dari talang adding jadi
kami tak mesti menunggu terlalu lama. Rasanya perkampungan begitu penuh
kedamaian hingga membuat kami ingin cepat pulang menghindari Sang raja hutan,
Harimau.
Jumat, 04 Mei 2012
Pendakian gunung Ciremai
SENJA DI PUNCAK PANGLONGOKAN
Kamis, 9 Juni 2011
Hari ini Wahyu dan Jerry tim pendahulu pendakian puncak Ciremai berangkat dengan kereta progo ke
Cirebon. Saya dan Hanif bertugas mengantar mereka ke
stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pada jam tiga pagi ini. Kereta akan berangkat
pada pukul 16.00 WIB sesuai jadwal. Urusan kereta terlambat atau tidak itu
mungkin terjadi. Saya tahu bahwa kereta tidak pernah diberangkatkan lebih
cepat. Tapi kami mengantar kedua tim pendahulu ini lebih cepat. Saya dan Hanif tidak bisa
mengantar keberangkatan kedua tim pendahulu ini sampai kereta berangkat. Karena
di sekretariat Palapsi akan diadakan upacara pelepasan atlet Follow Up Diklat
(FUD) Java Advanture 2011 ke Jawa Barat
secara menyeluruh.Mereka berdua juga tidak bisa ikut upacara pelepasan karena
harus berangkat duluan.
Di Sekretariat Palapsi telah ramai
berkumpul para atlet FUD, para atlet FUD yang tidak ikut During terakhir,
Palapsier, senior dan siapa saja warga kampus Psikologi UGM yang ikut upacara
keberangkatan. Sebagian besar memakai T-shirt biru khusus FUD Java Advanture
2011 atau T-shirt biru Palapsi bertuliskan Never Give Up di belakangnya. Lewat pukul
16.30 WIB acara dimulai dan diadakan di Lapangan Voli Psikologi UGM. Acara
diisi singkat dengan pidato singkat dari senior, ketua 25, calon ketua 26.
Kemudian memasuki acara inti menyanyikan himne Palapsi. Dengan nyanyian dan ciuman ke bendera Palapsi resmilah
kami untuk berangkat.
Jumat, 10 Juni 2011
Hari ini atlet FUD divisi gunung dan
tebing akan berangkat ke Jawa Barat
bersamaan dengan kereta Progo jam 16.00 WIB dari stasiun Lempuyangan. Dengan
diantar oelh banyak Palapsier. Di divisi
gunung sendiri ada saya, Hanif, Wikan, Tifani/Moni dan dari
divisi Tebing ada Fasluki, Ratu Salika Awang , Diah/Neeson , Bagas dan Ginanjar yang ikut bareng berangkat mudik ke Bandung yang naik
kereta hari ini. Sebenarnya ada satu lagi atlet divisi Gunung yang harusnya
berangkat, Diyan. Namun karena tidak mendapat izin orang tua di
hari-hari terakhir sebelum keberangkatan sahabat kita satu ini tidak bisa ikut.
Sepanjang perjalanan kami isi dengan
obrolan gosip-gosip asmara di Palapsi tahun ini atau obrolan lain. Saat habis
obrolan kami ganti dengan main kartu. Saat ada pengamen dan pengamen Waria kami
pura-pura tidur atau benar-benar tidur dan saat lapar dan haus kami makan dan
minum. Pokoknya sebisa mungkin kami mengisi kebosanan sampai kereta berhenti di
Stasiun Kota Baru Cirebon pada pukul sebelas malam lewat. Dari sini kami
berpisah dengan Divisi Tebing dan Ginanjar untuk melanjutkan misi kami.
Jika berpanutan dengan rencana
Briefing keberangkatan kami akan dijemput oleh tim pendahulu yang akan
menyiapkan keperluan selama di Cirebon dan Base Camp pendakian. Keluar dari
stasiun kami memang dijemput oleh mereka dan diajak langsung ke tempat
beristirahat malam ini, Masjid Agung stasiun Kota Baru, Cirebon.
Sabtu, 11 Juli 2011
Selepas shalat Shubuh kami berangkat ke desa
Lingasana di kecamatan Linggarjati, Kuningan. Sebelumnya kami sedikit berdebat
dengan sopir angkot yang mematok harga dengan sangat mahal untuk jasanya
mengantar kami ke sana. Padahal kalau naik angkutan umum lain dengan sistem
ganti-ganti angkutan untuk setiap jalur mungkin harganya bisa lebih masuk akal.
Tanpa kehilangan akan kami manfaatkan saja dengan mengantar kami ke pasar
tradisional di Linggarjati dulu dan menunggu kami selama satu jam untuk belanja
kebutuhan konsumsi untuk pendakian. Sebelum akhirnya berangkat lagi ke tujuan.
Sesampainya di basecamp pendakian
gunung Ciremai desa Lingasana kami bayar sopir angkot tersebut dengan berat
hati. Jerry dan wahyu yang sehari sebelumnya telah kesini telah melakukan
pendekatan dengan empunya rumah. Kami dizinkan menginap di rumah beliau sebelum
dan sesudah pendakian. Basecamp pendakian Lingasana ini bergabung fungsi dengan
pos ronda dan rumah pak Tatang (Basecamper) disebelahnya.
Hari masih jam sebelas siang lebih
dan pendakian kami akan dimulai jam delapan pagi besok. Sisa hari kami gunakan
untuk packing ulang logistik pendakian, istirahat atau sekedar ngbrol dengan
keluarga pak Tatang. Hal menarik yang saya ketahui tentang pak Tatang adalah
bahwa ia lahir di Palembang dan dibesarkan disana sampai ia merantau dan dapat
jodoh orang sini. Saya sendiri sebagai perantau dari Sumatera selatan senang
rasanya bertemu dengan orang satu daerah. Sehingga membuat membuat hubungan
kami lebih hangat dan terbuka.
Dari hasil obrol-obrol dengan pak
Tatang desa Lingasa ini mendapat juara 2 untuk desa terbersih di Jawa Barat,
teraman nomor 3 versi POLDA Jawa Barat, desa yang patut jadi panutan. Kata
beliau juga jalur pendakian dari Lingasana ini lebih panjang dibanding dengan
dua jalur pendakian resmi lainnya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Desa
Lingasana sendiri terletak pada ketinggian 600 meter diatas permukaan laut
(mdpl). Jalurnya pun katanya lebih terjal dengan tempat angker lebih banyak
menurut mitos masyarakat sekitar. Ini
juga mungkin yang dijadikan alasan Jerry, selaku Kepala Divisi gunung 25
memilih jalur tersulit untuk during terakhir pendakian gunung dalam rangkaian
FUD Java Advanture. Untuk menguji dan membuktikan hasil latihan dan pesiapan
kami selama 2,5 bulan kebelakang.
Minggu, 12 Juni 2011
Hari ini sehabis shubuh kami mandi dengan air
siraman air es teh dan sarapan nasi goreng buatan Basecamper yang baru-baru aku
ketahui ternyata juga buka warung makan dadakan. Lumayan menghemat waktu dan
logistik walau sedikit menguras duit. Setelah persiapan beres baik urusan
kbersihan, sarapan, logistik di Carrier kami lakukan pemanasan ringan sebelum
memulai pendakian. Pagi menunjukkan pukul 8.00 WIB saat kami mulai berjalan meninggalkan
Basecamp. Gunung Ciremai dari kejauhan menampakkan kegagahannya seobagai
daratan yang lebih tinggi mencuat yang hijau lebat dengan hutan Tropisnya
dilatarbelakangi langit biru cerah. Semoga selama pendakian langit tidak
mencurahkan hujan.
Di pagi minggu ini ternyata desa
Linggasana ini ramai dikunjungi oleh para warga kota Kuningan yang berjogging
ria ke lereng gunung Ciremai. Mungkin semacam komunitas kecil yang suka jogging
pagi di hari minggu. Rata-rata orang tua paruh baya yang kebanyakan beretnis
Tionghoa. Ada sepasang suami istri yang
menyapa kami dan menanyakan berapa kilo beban yang kami bawa. Ketika saya jawab
20 kilogram lebih sedikit mereka terkejut dan kasih salut buat Wikan dan Tifani
yang walau cewek berani-bernainya mendaki gunung denagn beban seberat itu.
Dalam hati saya berpikir apakah orang-orang ini mengaggap biasa saja kalau
laki-laki yang membawa beban seberat itu.
Kami mulai berpisah dengan komunitas
jogging pagi saat berbelok memasuki hutan yang lebih lebat dan alami. Sedangkan
mereka melanjutkan ke belokan yang mengarah ke hutan Pinus yang sangat benuansa
tempat wisata publik. Sebagai leader pendakian ditunjuk Wahyu yang akan
berjalan paling depan, disusul saya, Wikan, Tifani, Jerry dan Hanif sebagai
Swiffer yang berjalan paling belakang. Saat masih setengah perjalanan menuju
Pos Kondang Amis kami bertemu dengan pendaki lokal yang sedang beristirahat di
saung kecil yang ada air pancurannya.
Sedikit ngobrol dan dapat informasi kalau sumber
mata air di gunung sedang kering semua. Mungkin ada satu di dekat Kondang Amis
yang masih berair. Kondang Amis Sendiri masih sangat jauh dari puncak. Jadi
tidak akan terlalu membantu dalam pemenuhan kebutuhan air. Kalau dipikir ulang
lagi sepertinya air yang kami bawa termasuk sedikit untuk pendakian yang akan
kami jalani selama tiga hari. Masing-masing membawa 5 liter air di Carriernya. Beliau
juga cerita bahwa ia baru saja turun dari gunung Ciremai setelah 6 hari lebih
tinggal disana. Bukan untuk melakukan pendakian seperti pendaki kebanyakan atau
sebagai Jagawana yang sedang patroli. Mungkin buat Paniatan (Sunda) atau
Pesugihan (Jawa) buat cari ilmu dan kekayaan.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan jarak antara
saya dan Wahyu yang cukup berjauhan dengan empat teman di belakang. Mungkin
karena baru hari pertama dna peurt masih kenyang jadi kami berjalan terlampau
cepat. Saya perhatikan di kanan kiri jalur pendakian ini hutan gunung Ciremai
sangat lebat. Lebatnya sampai membuat sinar matahari terhalangi sampai serasa
senja menjelang malam. Banyak juga tanaman merambat seperti tanaman Rotan yang
besarnya sampai sepaha dan merambat panjang tak terlihat lagi ke pedalaman
hutan. Berbeda sekali rasanya dengan hutan-hutan pegununugan yang pernah saya
lihat di Gununug Lawu, Sumbing, Sindoro, atau Semeru.
Kebanyakan hutan-hutan di gunung yang saya sebut
tadi hutannya mulai homogen dan sedikit variasi jenis pepohonan. Ada juga yang
kebanyakan ladang perkebunan warga, kemudian
hutan homogen yang sepertinya hasil reboisasi dan padang belukar. Ini mungkin
karena faktor ketinggian tempat varietas tanaman di hutan tadi tumbuh. Dari
empat gunung yang saya sebutkan diatas kesemuanya memulai jalur pendakian dari
ketinggian 1000 mdpl. Menurut buku biologi yaang saya pernah baca, pada
ketinggian diatas tersebut varietas tanaman yang tumbuh mulai menyusut. Hal ini
dipengaruhi oleh temperatur yang berubah pada setiap ketinggian. Jika
dibandingkan dengan hutan gunung Ciremai teori ini memang berlaku. Karena
pendakian dimulai dari ketinggian 600 mdpl yang hutannya sangat lebat dan
bervarietas heterogen. Dan semakin ketinggiannya naik varietas yang adaa juga
semkin menyusut.
Kembali lagi pada cerita pendakian, dua jam setelah
pendakian akhirnya kami sampai di pos Kondang Amis. Beristirahat sejenak disini
dan kembali melanjutkan perjalanan. Mulai dari sini mulai ada perubahan darstis
pada jalur trekking pendakian. Yang mulanya dari basecamp sampai Kondang Amis
kemiringan jalur pendakian masih bisa ditolerir. Karena masih kurang dari 45*.
Mulai dari sini nama-nama pos pendakian mulai menunjukkan identitas sesuangguhnya.
Ada Tanjakan Kuda Mati yang miringnya membuat serasa badan merayap di tanah.
Konon katanya, di Tanjakan Kuda ini Kuda sunan Gunung Jati dan Kuda pendaki
Belanda mati saat mencoba mendaki. Saya jadi mafhum dengan penamaan tersebut
karena saking miringnya tanjakan ini wajar saja kuda tidak bisa mendaki dan
tergelincir dan akhirnya membawanya pada kematian.
Di Pangalap
dan Tanjakan Seruni sendiri jalurnya adalah akar-akar pepopohan layaknya Wall panjat tebing. Mulai dari Pengalap kami mulai
mencari tempat untuk camping karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Sulit untuk mencari tempat Camp di jalur pendakian yang miringnya lebih dari
45*. Wahyu sempat melihat Siamang hutan yang katanya sebesar manusia. Menurutku
terlalu besar untuk ukuran Siamang. Keterkejutannya membuat ia bersembunyi di
balik pohon sampai aku kembali menyusulnya. Kami akhirnya menemukan tempat
camping yang sempit diantara pos Pangalap dan Tanjakan Seruni yang pada
ketinggian 1800 mdpl.
Saat sibuk memasang tenda dome ada tiga rombongan pendaki yang turun. Mereka
mereka ini dua rombongan dari Bandung dan satu rombongan dari Jakarta. Satu
Rombongan dari Bandung (saya lupa menanyakan dari organisasi apa) sempat
beramah tamah dengan kami dan memberi oleh-oleh berupa 2 kantong Ceres, 20
kantong Cappucinno dan gula. Kata mereka ini hadiah persahabatan sebagai
pendaki. Tapi menurutku mungkin juga kedok mengurangi beban yang berat.
Malam ini setelah makan malam dengan kenyang
ditemani Cappucino hangat gratisan kami beranjak untuk tidur. Tapi di tengah malam saya terbangun dan sepertinya
yang lain juga terjaga. Di luar ada suara berisik yang asing dari suara hutan
lainnya. Suara burung hantu, anjing hutan, angin berdesir sebenarnya sudah menakutkan
di hutan gelap ini. Tapi dengan tambahan suara asing di sekitar tenda membuat
ini menjadi lebih seram. Wikan dan Tifani kata mereka mendengar suara monyet
dan ayam yang sepertinya mondar-madir di sekitar tenda Hanif dan Jerry tidak
peduli dan berusaha tidur, Wahyu sendiri malam mendengar suara paling
mengerikan, cekikikan Kuda. Aku lebih memilih untuk tidak peduli juga dan mulai
berusaha tidur.
Senin, 13 Juni 2011
Kami bangun pagi-pagi jam 5 pagi utnuk bikin sarapan
bongkar tenda dan siap-siap melanjutkan pendakian. Pendakian dimulai jam 8 pagi
dan terus kami lanjutkan sampai pukul 11 siang dan akhirnya sampai di pos Batu
Lingga 2200 mdpl. Setelah berdiskusi
sedikit kami memtuskan mendirikan camp kecil disini dan menaruh barang
seperlunya. Rencana tak terduga ini ialah kami akan menuju puncak langsung
dengan mungurangi beban. Dengan membawa beban seperlunya berupa alat
penyelamatan (Rescue), makan siang, air secukupnya dan ponco. Semua setuju dan
melanjutkan pejalanan.
Dari Batu Lingga tanaman mulai homogen dan
ketinggian tanaman mulai rendah. Sempat beristirahat di pos Sangga Buana 1 dan
kami lanjutkan ke pos Sangga Buana 2 dan akhirnya sampai di Pengasianan 2800
(mdpl). Waktu menujukkan pukul 1 siang dan jarak ke puncak tinggal 800 meter
lagi. Disini kami beristirahat sejenak dan Jerry memrintahkan mengeluarkan
kompor Parafin untuk memasak air untuk Cappucino. Malangnya setelah kami
periksa ternyata kami cuma membawa satu botol air yang isinya tinggal setengah.
Entah bagaimana kami lupa membawa 2 botol air lagi.
Jerry
marah-marah dalam kondisi ini. Tanpa banyak pikir dia memerintahkan untuk saya
dan Hanif untuk turun mengambil air di Camp kecil di Batu Lingga. Enak saja dia
perintah-perintah, jarak Pangasinan ke Batu Lingga itu 1,5 km lebih jaraknya
dan harus turun naik gunung untuk kembali lagi. Situasi mulai mengarah ke
konflik internal dan samapi-sampai Jerry mengancam membatalakan ke Puncak. Kalau
saja dia bukan pimpinan pendakian mungkin saja saya akan ladeni kemarahannya
dan melanjutkan konflik ini. Terpaksa saya dan Hanif turun ke Batu Lingga
sebagai pihak yang dianggap masih punya tenaga. Baru -baru ini saya sadari
kenapa saya mau melakukan hal melelahkan itu demi muncak Ciremai.
Serangan ke puncak akhirnya tertunda sampai jam 3
sore karena mununggu kami berdua mengmbil air. Langit mulai menunjukkan warna
jingga. Saya lihat Jerry sudah tidak marah-marah lagi dan sudah bercanda lagi.
Kami berdua lebih memlihi tiduran sejenak karena capek. Kemudian kami lanjutkan
perjalana ke puncak yang tinggal 0,8 km lagi. Walau dekat rasanya tetap saja
sulit karena jalan yang mendaki dan curam. Rasa kesal akibat konflik kecil tadi
serasa hilang sudah karena pengin cepat sampai ke puncak. Sempat berpapasan
denagn pendaki lain yang kemping di sekitar jalur.
Wahyu yang berjalan paling depan sesekali
mengucapkan kalimat bernada “capek, tinggi banget, kapan sampainya?” dan terus
berjalan. Seolah-olah kata-kata pesimis tadi adalah kata-kata motivasi
penyemangatnya. Yang lain juga tamapk seperti wahyu. Kecuali Jerry yang setiap
kali bareng dia naik gunung gayanya serasa biasa saja. Malah sempat bercanda di
situasi yang miring ini.
Tinggal beberapa langkah lagi ke puncak wahyu
berlari dengan semangat yang padahal awalnya tampak pesimis. Cepat sekali
perubahannya seperti seorang penderita manik disorder. “Huhuhu, saya yang
pertama muncak Ciremai!’ teriak dia berulang-ulang. Kemudian disusul aku,
Wikan, Moni, Jerry dan Hanif. Suasana menjadi suka cita di latar belakangi
langit yang senja. Di puncak ini tertera nama Puncak Panglongokan 3027 mdpl. Kawahnya teramat lebar dan katanya
harus memakan waktu satu jam untuk mengitarinya. Terlalu capek dan kami tidak punya waktu.
Jadi kami lebih memilih bersenag-senang di satu titik puncak dnegan
photo-photo, merekam video, telepon
Palapsier dan teman-teman dan Ngopi Cappucino lagi. Serasa tidak ada masalah
sebelumnya.
Ada hal yang paling penting lagi. Tifani atau Moni
ternyata pada hari ini 13 Juni 2011 berulang tahun ke 19 tahun. Beruntung
sekali dan senag sekali dia karena bisa merayakan ulang tahunnya di Puncak
Ciremai. Sedikit pesta kecil dengan minuman puncak, Cappucino, biskuit dan Apel
asem yang kubawa dari Jogja. Selagi di Puncak kami sempat menelpon Diyan dan
Deddy (2009) yang tidak bisa ikut sampai akhir dalam rangkaian FUD ini. Tapi
bagi kami kalian selalu bersama kami dalam pendakian ini. Walalu sekedar berupa
barang pinjaman dari kalian.
Jam lima sore kami mulai turun dan baru sampai ke
Batu lingga pada jam 8 malam. Satu malam lagi kemping disini sebelum
menlanjutkan perjalanan lagi besoknya. Sesampainya di tenda unutng
barang-barang kami masih utuh seperti saat kami tinggal waktu ambil air tadi.
Malam ini kami makan malam dengan kenntang panggang yang iseng kami buat dan
ternyata enak rasanya. Wikan sempat marah-marah karena aku sembarangan
menghabiskan bahan masakan untuk di eksperimen dibakar. Untung masih bisa
dimakan.
Selasa, 14 Juni 2011
Hari ini dengan mengulangi ritme kemping dipagi hari
kami bikin sarapan, sarapan, dan bongkar tenda. Hari cerah dan sesuai harapan
selama pendakian hari tidak hujan. Kami mulai perjalnan turun jam 8 pagi. Perjalanan
turun biasanaya selalu lebih cepat dan lebih menyakitkan buaat kaki. Sempat
berhenti di tanjakan Kuburan Kuda dan iseng mencari kuburan kuda yang
barangkali ada. Di Kondang Amis juga sekalian iseng ke mata air yang ternyata
kering di musim kemarau ini. Akhirnya kami sampai di Basecamp pada pukul 4
sore. Di depan basecamp ada kelurga pak Tatang yang lagi santai sore.
Malam ini kami memutuskan untuk menginap semalam
lagi disini seblum melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Dengan makan Nasi
Goreng buatan istri Pak Tatang kami bisa istirahat dengan perut kenyang.
Rasanya selalu nyaman dan aman kalau sudah berada di pemukiman, walaupun itu
rumah orang. Tetapi lebih menyenangkan lagi karena kami berhasil menyelesaikan
misi kami kali ini, berkunjung ke Puncak Panglokan Gunung Ciremai.
Langganan:
Postingan (Atom)