SENJA DI PUNCAK PANGLONGOKAN
Kamis, 9 Juni 2011
Hari ini Wahyu dan Jerry tim pendahulu pendakian puncak Ciremai berangkat dengan kereta progo ke
Cirebon. Saya dan Hanif bertugas mengantar mereka ke
stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pada jam tiga pagi ini. Kereta akan berangkat
pada pukul 16.00 WIB sesuai jadwal. Urusan kereta terlambat atau tidak itu
mungkin terjadi. Saya tahu bahwa kereta tidak pernah diberangkatkan lebih
cepat. Tapi kami mengantar kedua tim pendahulu ini lebih cepat. Saya dan Hanif tidak bisa
mengantar keberangkatan kedua tim pendahulu ini sampai kereta berangkat. Karena
di sekretariat Palapsi akan diadakan upacara pelepasan atlet Follow Up Diklat
(FUD) Java Advanture 2011 ke Jawa Barat
secara menyeluruh.Mereka berdua juga tidak bisa ikut upacara pelepasan karena
harus berangkat duluan.
Di Sekretariat Palapsi telah ramai
berkumpul para atlet FUD, para atlet FUD yang tidak ikut During terakhir,
Palapsier, senior dan siapa saja warga kampus Psikologi UGM yang ikut upacara
keberangkatan. Sebagian besar memakai T-shirt biru khusus FUD Java Advanture
2011 atau T-shirt biru Palapsi bertuliskan Never Give Up di belakangnya. Lewat pukul
16.30 WIB acara dimulai dan diadakan di Lapangan Voli Psikologi UGM. Acara
diisi singkat dengan pidato singkat dari senior, ketua 25, calon ketua 26.
Kemudian memasuki acara inti menyanyikan himne Palapsi. Dengan nyanyian dan ciuman ke bendera Palapsi resmilah
kami untuk berangkat.
Jumat, 10 Juni 2011
Hari ini atlet FUD divisi gunung dan
tebing akan berangkat ke Jawa Barat
bersamaan dengan kereta Progo jam 16.00 WIB dari stasiun Lempuyangan. Dengan
diantar oelh banyak Palapsier. Di divisi
gunung sendiri ada saya, Hanif, Wikan, Tifani/Moni dan dari
divisi Tebing ada Fasluki, Ratu Salika Awang , Diah/Neeson , Bagas dan Ginanjar yang ikut bareng berangkat mudik ke Bandung yang naik
kereta hari ini. Sebenarnya ada satu lagi atlet divisi Gunung yang harusnya
berangkat, Diyan. Namun karena tidak mendapat izin orang tua di
hari-hari terakhir sebelum keberangkatan sahabat kita satu ini tidak bisa ikut.
Sepanjang perjalanan kami isi dengan
obrolan gosip-gosip asmara di Palapsi tahun ini atau obrolan lain. Saat habis
obrolan kami ganti dengan main kartu. Saat ada pengamen dan pengamen Waria kami
pura-pura tidur atau benar-benar tidur dan saat lapar dan haus kami makan dan
minum. Pokoknya sebisa mungkin kami mengisi kebosanan sampai kereta berhenti di
Stasiun Kota Baru Cirebon pada pukul sebelas malam lewat. Dari sini kami
berpisah dengan Divisi Tebing dan Ginanjar untuk melanjutkan misi kami.
Jika berpanutan dengan rencana
Briefing keberangkatan kami akan dijemput oleh tim pendahulu yang akan
menyiapkan keperluan selama di Cirebon dan Base Camp pendakian. Keluar dari
stasiun kami memang dijemput oleh mereka dan diajak langsung ke tempat
beristirahat malam ini, Masjid Agung stasiun Kota Baru, Cirebon.
Sabtu, 11 Juli 2011
Selepas shalat Shubuh kami berangkat ke desa
Lingasana di kecamatan Linggarjati, Kuningan. Sebelumnya kami sedikit berdebat
dengan sopir angkot yang mematok harga dengan sangat mahal untuk jasanya
mengantar kami ke sana. Padahal kalau naik angkutan umum lain dengan sistem
ganti-ganti angkutan untuk setiap jalur mungkin harganya bisa lebih masuk akal.
Tanpa kehilangan akan kami manfaatkan saja dengan mengantar kami ke pasar
tradisional di Linggarjati dulu dan menunggu kami selama satu jam untuk belanja
kebutuhan konsumsi untuk pendakian. Sebelum akhirnya berangkat lagi ke tujuan.
Sesampainya di basecamp pendakian
gunung Ciremai desa Lingasana kami bayar sopir angkot tersebut dengan berat
hati. Jerry dan wahyu yang sehari sebelumnya telah kesini telah melakukan
pendekatan dengan empunya rumah. Kami dizinkan menginap di rumah beliau sebelum
dan sesudah pendakian. Basecamp pendakian Lingasana ini bergabung fungsi dengan
pos ronda dan rumah pak Tatang (Basecamper) disebelahnya.
Hari masih jam sebelas siang lebih
dan pendakian kami akan dimulai jam delapan pagi besok. Sisa hari kami gunakan
untuk packing ulang logistik pendakian, istirahat atau sekedar ngbrol dengan
keluarga pak Tatang. Hal menarik yang saya ketahui tentang pak Tatang adalah
bahwa ia lahir di Palembang dan dibesarkan disana sampai ia merantau dan dapat
jodoh orang sini. Saya sendiri sebagai perantau dari Sumatera selatan senang
rasanya bertemu dengan orang satu daerah. Sehingga membuat membuat hubungan
kami lebih hangat dan terbuka.
Dari hasil obrol-obrol dengan pak
Tatang desa Lingasa ini mendapat juara 2 untuk desa terbersih di Jawa Barat,
teraman nomor 3 versi POLDA Jawa Barat, desa yang patut jadi panutan. Kata
beliau juga jalur pendakian dari Lingasana ini lebih panjang dibanding dengan
dua jalur pendakian resmi lainnya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Desa
Lingasana sendiri terletak pada ketinggian 600 meter diatas permukaan laut
(mdpl). Jalurnya pun katanya lebih terjal dengan tempat angker lebih banyak
menurut mitos masyarakat sekitar. Ini
juga mungkin yang dijadikan alasan Jerry, selaku Kepala Divisi gunung 25
memilih jalur tersulit untuk during terakhir pendakian gunung dalam rangkaian
FUD Java Advanture. Untuk menguji dan membuktikan hasil latihan dan pesiapan
kami selama 2,5 bulan kebelakang.
Minggu, 12 Juni 2011
Hari ini sehabis shubuh kami mandi dengan air
siraman air es teh dan sarapan nasi goreng buatan Basecamper yang baru-baru aku
ketahui ternyata juga buka warung makan dadakan. Lumayan menghemat waktu dan
logistik walau sedikit menguras duit. Setelah persiapan beres baik urusan
kbersihan, sarapan, logistik di Carrier kami lakukan pemanasan ringan sebelum
memulai pendakian. Pagi menunjukkan pukul 8.00 WIB saat kami mulai berjalan meninggalkan
Basecamp. Gunung Ciremai dari kejauhan menampakkan kegagahannya seobagai
daratan yang lebih tinggi mencuat yang hijau lebat dengan hutan Tropisnya
dilatarbelakangi langit biru cerah. Semoga selama pendakian langit tidak
mencurahkan hujan.
Di pagi minggu ini ternyata desa
Linggasana ini ramai dikunjungi oleh para warga kota Kuningan yang berjogging
ria ke lereng gunung Ciremai. Mungkin semacam komunitas kecil yang suka jogging
pagi di hari minggu. Rata-rata orang tua paruh baya yang kebanyakan beretnis
Tionghoa. Ada sepasang suami istri yang
menyapa kami dan menanyakan berapa kilo beban yang kami bawa. Ketika saya jawab
20 kilogram lebih sedikit mereka terkejut dan kasih salut buat Wikan dan Tifani
yang walau cewek berani-bernainya mendaki gunung denagn beban seberat itu.
Dalam hati saya berpikir apakah orang-orang ini mengaggap biasa saja kalau
laki-laki yang membawa beban seberat itu.
Kami mulai berpisah dengan komunitas
jogging pagi saat berbelok memasuki hutan yang lebih lebat dan alami. Sedangkan
mereka melanjutkan ke belokan yang mengarah ke hutan Pinus yang sangat benuansa
tempat wisata publik. Sebagai leader pendakian ditunjuk Wahyu yang akan
berjalan paling depan, disusul saya, Wikan, Tifani, Jerry dan Hanif sebagai
Swiffer yang berjalan paling belakang. Saat masih setengah perjalanan menuju
Pos Kondang Amis kami bertemu dengan pendaki lokal yang sedang beristirahat di
saung kecil yang ada air pancurannya.
Sedikit ngobrol dan dapat informasi kalau sumber
mata air di gunung sedang kering semua. Mungkin ada satu di dekat Kondang Amis
yang masih berair. Kondang Amis Sendiri masih sangat jauh dari puncak. Jadi
tidak akan terlalu membantu dalam pemenuhan kebutuhan air. Kalau dipikir ulang
lagi sepertinya air yang kami bawa termasuk sedikit untuk pendakian yang akan
kami jalani selama tiga hari. Masing-masing membawa 5 liter air di Carriernya. Beliau
juga cerita bahwa ia baru saja turun dari gunung Ciremai setelah 6 hari lebih
tinggal disana. Bukan untuk melakukan pendakian seperti pendaki kebanyakan atau
sebagai Jagawana yang sedang patroli. Mungkin buat Paniatan (Sunda) atau
Pesugihan (Jawa) buat cari ilmu dan kekayaan.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan jarak antara
saya dan Wahyu yang cukup berjauhan dengan empat teman di belakang. Mungkin
karena baru hari pertama dna peurt masih kenyang jadi kami berjalan terlampau
cepat. Saya perhatikan di kanan kiri jalur pendakian ini hutan gunung Ciremai
sangat lebat. Lebatnya sampai membuat sinar matahari terhalangi sampai serasa
senja menjelang malam. Banyak juga tanaman merambat seperti tanaman Rotan yang
besarnya sampai sepaha dan merambat panjang tak terlihat lagi ke pedalaman
hutan. Berbeda sekali rasanya dengan hutan-hutan pegununugan yang pernah saya
lihat di Gununug Lawu, Sumbing, Sindoro, atau Semeru.
Kebanyakan hutan-hutan di gunung yang saya sebut
tadi hutannya mulai homogen dan sedikit variasi jenis pepohonan. Ada juga yang
kebanyakan ladang perkebunan warga, kemudian
hutan homogen yang sepertinya hasil reboisasi dan padang belukar. Ini mungkin
karena faktor ketinggian tempat varietas tanaman di hutan tadi tumbuh. Dari
empat gunung yang saya sebutkan diatas kesemuanya memulai jalur pendakian dari
ketinggian 1000 mdpl. Menurut buku biologi yaang saya pernah baca, pada
ketinggian diatas tersebut varietas tanaman yang tumbuh mulai menyusut. Hal ini
dipengaruhi oleh temperatur yang berubah pada setiap ketinggian. Jika
dibandingkan dengan hutan gunung Ciremai teori ini memang berlaku. Karena
pendakian dimulai dari ketinggian 600 mdpl yang hutannya sangat lebat dan
bervarietas heterogen. Dan semakin ketinggiannya naik varietas yang adaa juga
semkin menyusut.
Kembali lagi pada cerita pendakian, dua jam setelah
pendakian akhirnya kami sampai di pos Kondang Amis. Beristirahat sejenak disini
dan kembali melanjutkan perjalanan. Mulai dari sini mulai ada perubahan darstis
pada jalur trekking pendakian. Yang mulanya dari basecamp sampai Kondang Amis
kemiringan jalur pendakian masih bisa ditolerir. Karena masih kurang dari 45*.
Mulai dari sini nama-nama pos pendakian mulai menunjukkan identitas sesuangguhnya.
Ada Tanjakan Kuda Mati yang miringnya membuat serasa badan merayap di tanah.
Konon katanya, di Tanjakan Kuda ini Kuda sunan Gunung Jati dan Kuda pendaki
Belanda mati saat mencoba mendaki. Saya jadi mafhum dengan penamaan tersebut
karena saking miringnya tanjakan ini wajar saja kuda tidak bisa mendaki dan
tergelincir dan akhirnya membawanya pada kematian.
Di Pangalap
dan Tanjakan Seruni sendiri jalurnya adalah akar-akar pepopohan layaknya Wall panjat tebing. Mulai dari Pengalap kami mulai
mencari tempat untuk camping karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Sulit untuk mencari tempat Camp di jalur pendakian yang miringnya lebih dari
45*. Wahyu sempat melihat Siamang hutan yang katanya sebesar manusia. Menurutku
terlalu besar untuk ukuran Siamang. Keterkejutannya membuat ia bersembunyi di
balik pohon sampai aku kembali menyusulnya. Kami akhirnya menemukan tempat
camping yang sempit diantara pos Pangalap dan Tanjakan Seruni yang pada
ketinggian 1800 mdpl.
Saat sibuk memasang tenda dome ada tiga rombongan pendaki yang turun. Mereka
mereka ini dua rombongan dari Bandung dan satu rombongan dari Jakarta. Satu
Rombongan dari Bandung (saya lupa menanyakan dari organisasi apa) sempat
beramah tamah dengan kami dan memberi oleh-oleh berupa 2 kantong Ceres, 20
kantong Cappucinno dan gula. Kata mereka ini hadiah persahabatan sebagai
pendaki. Tapi menurutku mungkin juga kedok mengurangi beban yang berat.
Malam ini setelah makan malam dengan kenyang
ditemani Cappucino hangat gratisan kami beranjak untuk tidur. Tapi di tengah malam saya terbangun dan sepertinya
yang lain juga terjaga. Di luar ada suara berisik yang asing dari suara hutan
lainnya. Suara burung hantu, anjing hutan, angin berdesir sebenarnya sudah menakutkan
di hutan gelap ini. Tapi dengan tambahan suara asing di sekitar tenda membuat
ini menjadi lebih seram. Wikan dan Tifani kata mereka mendengar suara monyet
dan ayam yang sepertinya mondar-madir di sekitar tenda Hanif dan Jerry tidak
peduli dan berusaha tidur, Wahyu sendiri malam mendengar suara paling
mengerikan, cekikikan Kuda. Aku lebih memilih untuk tidak peduli juga dan mulai
berusaha tidur.
Senin, 13 Juni 2011
Kami bangun pagi-pagi jam 5 pagi utnuk bikin sarapan
bongkar tenda dan siap-siap melanjutkan pendakian. Pendakian dimulai jam 8 pagi
dan terus kami lanjutkan sampai pukul 11 siang dan akhirnya sampai di pos Batu
Lingga 2200 mdpl. Setelah berdiskusi
sedikit kami memtuskan mendirikan camp kecil disini dan menaruh barang
seperlunya. Rencana tak terduga ini ialah kami akan menuju puncak langsung
dengan mungurangi beban. Dengan membawa beban seperlunya berupa alat
penyelamatan (Rescue), makan siang, air secukupnya dan ponco. Semua setuju dan
melanjutkan pejalanan.
Dari Batu Lingga tanaman mulai homogen dan
ketinggian tanaman mulai rendah. Sempat beristirahat di pos Sangga Buana 1 dan
kami lanjutkan ke pos Sangga Buana 2 dan akhirnya sampai di Pengasianan 2800
(mdpl). Waktu menujukkan pukul 1 siang dan jarak ke puncak tinggal 800 meter
lagi. Disini kami beristirahat sejenak dan Jerry memrintahkan mengeluarkan
kompor Parafin untuk memasak air untuk Cappucino. Malangnya setelah kami
periksa ternyata kami cuma membawa satu botol air yang isinya tinggal setengah.
Entah bagaimana kami lupa membawa 2 botol air lagi.
Jerry
marah-marah dalam kondisi ini. Tanpa banyak pikir dia memerintahkan untuk saya
dan Hanif untuk turun mengambil air di Camp kecil di Batu Lingga. Enak saja dia
perintah-perintah, jarak Pangasinan ke Batu Lingga itu 1,5 km lebih jaraknya
dan harus turun naik gunung untuk kembali lagi. Situasi mulai mengarah ke
konflik internal dan samapi-sampai Jerry mengancam membatalakan ke Puncak. Kalau
saja dia bukan pimpinan pendakian mungkin saja saya akan ladeni kemarahannya
dan melanjutkan konflik ini. Terpaksa saya dan Hanif turun ke Batu Lingga
sebagai pihak yang dianggap masih punya tenaga. Baru -baru ini saya sadari
kenapa saya mau melakukan hal melelahkan itu demi muncak Ciremai.
Serangan ke puncak akhirnya tertunda sampai jam 3
sore karena mununggu kami berdua mengmbil air. Langit mulai menunjukkan warna
jingga. Saya lihat Jerry sudah tidak marah-marah lagi dan sudah bercanda lagi.
Kami berdua lebih memlihi tiduran sejenak karena capek. Kemudian kami lanjutkan
perjalana ke puncak yang tinggal 0,8 km lagi. Walau dekat rasanya tetap saja
sulit karena jalan yang mendaki dan curam. Rasa kesal akibat konflik kecil tadi
serasa hilang sudah karena pengin cepat sampai ke puncak. Sempat berpapasan
denagn pendaki lain yang kemping di sekitar jalur.
Wahyu yang berjalan paling depan sesekali
mengucapkan kalimat bernada “capek, tinggi banget, kapan sampainya?” dan terus
berjalan. Seolah-olah kata-kata pesimis tadi adalah kata-kata motivasi
penyemangatnya. Yang lain juga tamapk seperti wahyu. Kecuali Jerry yang setiap
kali bareng dia naik gunung gayanya serasa biasa saja. Malah sempat bercanda di
situasi yang miring ini.
Tinggal beberapa langkah lagi ke puncak wahyu
berlari dengan semangat yang padahal awalnya tampak pesimis. Cepat sekali
perubahannya seperti seorang penderita manik disorder. “Huhuhu, saya yang
pertama muncak Ciremai!’ teriak dia berulang-ulang. Kemudian disusul aku,
Wikan, Moni, Jerry dan Hanif. Suasana menjadi suka cita di latar belakangi
langit yang senja. Di puncak ini tertera nama Puncak Panglongokan 3027 mdpl. Kawahnya teramat lebar dan katanya
harus memakan waktu satu jam untuk mengitarinya. Terlalu capek dan kami tidak punya waktu.
Jadi kami lebih memilih bersenag-senang di satu titik puncak dnegan
photo-photo, merekam video, telepon
Palapsier dan teman-teman dan Ngopi Cappucino lagi. Serasa tidak ada masalah
sebelumnya.
Ada hal yang paling penting lagi. Tifani atau Moni
ternyata pada hari ini 13 Juni 2011 berulang tahun ke 19 tahun. Beruntung
sekali dan senag sekali dia karena bisa merayakan ulang tahunnya di Puncak
Ciremai. Sedikit pesta kecil dengan minuman puncak, Cappucino, biskuit dan Apel
asem yang kubawa dari Jogja. Selagi di Puncak kami sempat menelpon Diyan dan
Deddy (2009) yang tidak bisa ikut sampai akhir dalam rangkaian FUD ini. Tapi
bagi kami kalian selalu bersama kami dalam pendakian ini. Walalu sekedar berupa
barang pinjaman dari kalian.
Jam lima sore kami mulai turun dan baru sampai ke
Batu lingga pada jam 8 malam. Satu malam lagi kemping disini sebelum
menlanjutkan perjalanan lagi besoknya. Sesampainya di tenda unutng
barang-barang kami masih utuh seperti saat kami tinggal waktu ambil air tadi.
Malam ini kami makan malam dengan kenntang panggang yang iseng kami buat dan
ternyata enak rasanya. Wikan sempat marah-marah karena aku sembarangan
menghabiskan bahan masakan untuk di eksperimen dibakar. Untung masih bisa
dimakan.
Selasa, 14 Juni 2011
Hari ini dengan mengulangi ritme kemping dipagi hari
kami bikin sarapan, sarapan, dan bongkar tenda. Hari cerah dan sesuai harapan
selama pendakian hari tidak hujan. Kami mulai perjalnan turun jam 8 pagi. Perjalanan
turun biasanaya selalu lebih cepat dan lebih menyakitkan buaat kaki. Sempat
berhenti di tanjakan Kuburan Kuda dan iseng mencari kuburan kuda yang
barangkali ada. Di Kondang Amis juga sekalian iseng ke mata air yang ternyata
kering di musim kemarau ini. Akhirnya kami sampai di Basecamp pada pukul 4
sore. Di depan basecamp ada kelurga pak Tatang yang lagi santai sore.
Malam ini kami memutuskan untuk menginap semalam
lagi disini seblum melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Dengan makan Nasi
Goreng buatan istri Pak Tatang kami bisa istirahat dengan perut kenyang.
Rasanya selalu nyaman dan aman kalau sudah berada di pemukiman, walaupun itu
rumah orang. Tetapi lebih menyenangkan lagi karena kami berhasil menyelesaikan
misi kami kali ini, berkunjung ke Puncak Panglokan Gunung Ciremai.